Manifesto PMII Terhadap Pork Festival

Pork Festival, dengan 50 jenis makanan berbahan danging babi, yang diselenggarakan di area pusat perbelanjaan Sri Ratu mendapat penolakan keras dari FUIS.

Pork Festival Semarang 2017, Sri Ratu
[Foto: http://ichef.bbci.co.uk/]

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Semarang menjadi kota dengan kesejarahan panjangnya yang telah memberi sumbangsih banyak pada Indonesia dalam berbagai bidang. Salah satu sumbangan yang tidak bisa dikatakan kecil adalah “keharmonisan” hubungan antar agama yang terus dirawat dengan penuh kesadaran dan berlandaskan NKRI oleh masyarakatnya. Keharmonisan yang selama bertahun-tahun terjaga tersebut tentu bukannya tanpa ujian, sekurang-kurangnya menurut pengamatan penulis, hal itu diuji semenjak kasus penolakan beberapa Ormas terhadap acara buka bersama yang diinisiasi Romo Alosyus Budi yang mendatangkan Ny. Shinta Nuriyah. Setelah kasus tersebut, penulis juga menemukan kejadian penolakan penyelenggaraan as-syura yang digelar oleh Syi’ah. Terakhir yang paling aktual adalah polemik Pork Festival, dimana ada sekitar 50 jenis olahan makanan berbahan dasar babi yang diselenggarakan di area pusat perbelanjaan Sri Ratu. Komunitas Kuliner Semarang yang menghelat acara tersebut sebagai rangkaian acara menyambut Imlek, mendapat penolakan keras dari sebuah Ormas yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Kota Semarang (FUIS).

Polemik ini tentu muncul dari perbedaan pendapat antara pihak yang membolehkan acara tetap berlangsung dengan pihak yang berkeberatan. Semua orang sudah tahu jika umat Islam sepakat bulat jika memakan babi haram hukumnya. Tetapi bukan itu pokok permasalahannya. Masalah ini lebih kepada perbedaan pemaknaan tolorensi dari masing-masing pihak. Dalam Islam secara umum memandang hubungan antar agama dalam tiga sikap. Pertama, sikap eksklusif, yang mutlak menganggap tidak ada keselamatan selain dari jalan ajaran Islam (Q. 3:9, Q. 3:85). Kedua, sikap inklusifis, sikap ini lebih melihat Islam sebagai nilai dibanding kelembagaan (organisasi). Sikap ini memungkinkan penerimaan kenyataan bahwa semua nabi sebelum Muhammad SAW. adalah Islam secara nilai dalam bentuk syariat yang berbeda.

Sikap selanjutnya adalah pluralisme, sikap ini memang pondasi awalnya adalah paham inklusifisme. Secara teologis pengakuan hak agama lain diakui Al-Qur’an sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah (Q. 5:44-50). Oleh karena itu bukan hanya agama tidak boleh dipaksakan (Q. 2:256), bahkan asal berbuat baik secara sosial, kemudia percaya pada Tuhan dan hari akhir, semua agama berpeluang mendapatkan keselamatan (Q. Q. 2:62) (Budhy Munawar Rachman: 2016). Begitulah landasan eskatologis dari sikap pluralisme. Tetapi tentu kita harus mampu menjelaskan dengan tegas bahwa semua agama tidaklah mutlak sama (relativisme), pluralisme bukan mengejar tujuan seperti itu, sikap ini lebih menuju kepada kesadaran terbuka atas kalim kebenaran agama masing-masing tanpa menutup kemungkinan bahwa agama lain bisa terselamatkan. Bahkan dalam sikap pluralisme seperti ini dianjurkan untuk setiap agama tetap menjaga masing-masing keunikannya. Tidak diperbolehkan melenturkan agamanya dengan alasan agar lebih dekat dengan lintas agama lain.

Memasuki polemik Pork Fest ini, saya ingin mengatakan bahwa sikap ekslusifisme memang masih sering mendominasi praktik keagamaan masyarakat kita. Sehingga sikap yang dilahirkan oleh pemahamn seperti itu tidak jarang mengakibatkan gesekan horizontal baik antar ataupun intern agama. Meski begitu, masyarakat luas juga perlu tahu bahwa yang mempraktikkan pluralisme juga tidak kalah jumlahnya. Hal ini perlu disampaikan di muka agar tidak ada generalisasi dari saudara non muslim tentang pandangannya terhadap kita (umat muslim, terlebih organisasi PMII). Demi menjaga orisinilitas ke-PMII-an sikap PMII Kota Semarang, maka saya akan mencoba mentakwil pendapat dari salah satu senior PMII, Tedi Kholiluddin (ELSA) untuk merespon polemik ini. Menurut Tedi, kita seharusnya mampu membedakan apa domain pemerintah dan apa yang menjadi domain masyarakat sipil dalam konteks menjaga kebebasan beragama. Domain pemerintah tentu untuk menjaga lalu lintas pemenuhan hak kepada setiap warga yang telah diatur dalam konstitusi. Sementara urusan pembinaan dan penghayatam keimanan, peningkatan ketaqwaan, penertiban ibadah sesuai syar’i biarkan menjadi tugas ulama atau rohaniawan baik individu ataupun organisasi keagamaan.

Penolakan yang dilakukan ormas tersebut tentu berdasarkan asumsi bahwa ada masyarakat muslim yang berpotensi ikut makan di festival tersebut, padahal secara jelas babi diharamkan. Sesuai pernyataan Tedi maka seharusnya hal ini bukanlah sesuatu yang laik untuk dipolemikan sampai ke tingkat kepolisisan dan Pemerintah Kota. Pasalnya pemerintah dalam konteks kebebasan beragama sudah betul memberikan izin jika prosedur pengajuannya memang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-udangan yang ada. Urusan ketakutan atas potensi umat muslim yang ikut makan babi, itu urusan ulama! Seharusnya ulama mampu menghimbau umatnya untuk mematuhi hukum-hukum Islam, bukan malah memaksa pemerintah menjadi pengangkang hukum dengan menjadikannya anak emas dan menjadi hakim penentu boleh tidaknya suatu kegiatan diselenggarakan. Alasan ketakutan yang berlebihan ini saya rasa sudah terjawab.

Alasan kedua yang sering mereka ajukan adalah terselenggarakannya acara ini di ruang publik. Hal ini tentu akan mengganggu pemikiran orang yang tidak mau secara terbuka mengakui bahwa kita tinggal di negara hukum. Semua yang berada di ruang publik bagi penulis, boleh dilakukan asal setelah melewati public reasoning dan moral reasoning. Public reasoning adalah suatu upaya bentuk rasionalisasi yang dijadikan dasar suatu tindakan, bisa bersandar pada aspek filosofis, hukum, ekonomi atau kesehatan. Sementara sebagai moral reasoning, maka dalam memegang norma masyarakat santun perlu dipertimbangkan aspek manfaat dan mudarat suatu kegiatan dengan neraca objetifitas. Harus ada pertimbangan serius apakah jika izin diberikan kepada suatu kegiatan berpotensi merusak moral suatu masyarakat, tentu hal yang berdasarkan nilai seperti ini adalah hal yang sangat debateble karena tidak bisa diukur dengan jelas, tetapi batasan minimal dari hal semacam ini tentu bisa ditetapkan. Jika suatu kegiatan/tindakan bisa diterima secara rasional dan moral maka izin penyelenggaraan diruang publik harus diberikan.

Kecuali kita mau lebih terbuka dan lebih progresif, bahwa kita sepakat untuk menekan terjadinya kapitalisasi agama. Suatu fenomena yang menyeret umat beragama ke jurang hedonisme dan konsumerisme. Menyitir renungan Gus Mus yang menyatakan bahwa kita krisis kesederhanan, maka penghiasan ketupat dan pemutaran lagu Bimbo saat Ramadhan di pusat perbelanjaan juga harusnya kita larang, pemakaian topi Sinterklas dan pemasangan bel yang digantung di pohon cemara saat Natal di pusat perbelanjaan pun begitu, harus kita tolak. Bukan karena hal tersebut berpotensi mengganggu keimanan seseorang, tetapi lebih kepada potensi budaya masyarakat keagamaan kita yang seharusnya penuh kesederhanaan berpotensi berubah menjadi hedonis dan konsumeris. Festival babi ini pun sama, jika ditolak karena dikhawatirkan merusak aqidah, maka alsan penolakan tersebut sudah gagal menembus public reasoning dan moral reasoning.

Selanjutnya mugkin saja mereka menggunakan kaidah al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa dijadikan hukum), kemudian membenturkannya dengan adat di Bali ataupun di Kudus. Kaidah tersebut sebenarnya beradasarkan pada hadits ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahua ‘indallahi hasanun (sesuatu yang dilihat orang muslim baik maka menurut Allah juga baik). Begini penjelasannya, jika di Bali atau Kudus sudah menjadi adat bahwa menyembelih sapi sesuatu yang dilarang dalam Hindu, maka seharusnya masyarakat muslim tidak seharusnya membuat festival makanan olahan berbahan utama sapi di alun-alun, karena adatnya memang seperti itu. sekilas kita akan terkecoh, tetapi dua analogi ini serupa tapi jelas berbeda hukumnya.

Pertama, pelarangan menyembelih sapi adalah sesuatu yang berdasarkan nilai moralitas yang jika umat muslim menyembelih sapi berarti bisa dikatakan sebagai penghinaan kepada saudara Hindu. Sementara dalam kasus ini, meskipun babi jelas hukum haramnya, tidak bisa dijadikan indikasi penghinaan terhadap umat muslim. Terlebih pemberian tanda tentang kejelasan bahan utama makanan olahan juga telah disampaikan panitia penyelenggara. Sehingga memudahkan pengunjung muslim untuk menghindarinya. Analogi pelarangan penyembelihan sapi ini akan lebih tepat jika dibandingkan dengan pelarangan visualisasi wajah Nabi Muhammad SAW. Karena kedua hal itu merupakan penghinaan bagi pemeluk agama masing-masing.

Selanjutnya kaidah fiqh tersebut tidak kompatibel digunakan dalam konteks lintas agama seperti kasus festival ini, karena kaidah tersebut biasanya digunakan untuk kegiatan sehari-hari dalam masyarakat muslim. Misal jika ada toples makanan di ruang tamu yang masih tertutup dan belum diizinkan oleh pemilik rumah, maka sesuai adat hukumnya tamu boleh memakan makanan tersebut. karena memang toples makanan sesuai adat yang berlaku diperuntukan untuk tamu. Adapun persoalan dengan lintas agama, Imam Subki juga mencontohkan dengan kasus transaksi perdagangan. Jika seorang muslim bertransaksi dengan seorang Yahudi sesuai dengan ketentuan umum, sementara orang yahudi mempunyai adat tersendiri yang tidak diketahui orang muslim, maka orang muslim tersebut berhak menggunakan ketentuan adatnya sendiri dengan catatan benar-benar tidak mengetahui adat dari orang Yahudi tersebut (al-Asybah wa al-Nadhoir: Imam al-Suyuthi, h. 89-100).  Terlepas dari itu kita harus mampu membuang jauh-jauh pemahaman bahwa Semarang adalah kota muslim (hanya berdasarkan jumlah mayoritas pemeluk agamanya Islam), dengan begitu kita tidak akan menggunakan adat Islam sebagai pertimbangan hukum. Lebih jauh, adat tersebut harus dilandaskan adat yang ada di NKRI yang hanya bisa terwujud jika masing-masing warganya sadar bahwa Indonesia negara hukum (bukan negara hukum Islam).

Beberapa poin yang telah disampaikan adalah pernyataan sikap PMII Kota Semarang menanggapi polemik Festival Babi. Dengan berbagai pertimbangan dan analisis tersebut maka jelas bagi khalayak umum bahwa dengan ini kami tegas menyatakan sikap bahwa tidak tergabung dan atau tidak sependapat dengan ormas yang ingin menngagalkan festival kuliner tersebut. meski begitu kami juga bukanlah pendukung agar kegiatan tersebut berjalan sukses. Kami berharap polemik ini tidak akan menggangu keharmonisan hubungan antar ataupun intern agama di Kota Semarang. Sikap yang dikedepankan bagi kami adalah dialog terbuka tanpa menggunakan pra paham seperti pernyataan bahwa Semarang kota Islam. Pernyataan ini tentu jauh dari kategorisasi ijtihad fuqaha, hal ini hanyalah aktualisasi dari aswaja sebagai manhaj al-fikr yang harus mengedepankan sikap tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), ta’adul (netral), serta tasamuh (toleran). Dengan dikeluarkannya pernyataan sikap ini semoga bisa dijadikan dasar pengambilan sikap bagi seluruh anggota PMII Kota Semarang terhadap polemik Festival ini. pernyataan sikap ini diaharap juga mampu menjawab keabu-abuan sikap PMII yang selama ini telah beredar di ruang publik.

COMMENTS

Name

agenda,18,artikel,51,bincang,2,cyberia,4,kajian,1,ke-pmii-an,24,KEAGAMAAN,4,kebangsaan,2,KOPRI,2,Opini,34,pendaftaran,2,pendidikan,2,PMIITV,6,puasa,1,pustaka,9,ramadhan,2,rilis,10,warta,13,
ltr
item
PMII Semarang: Manifesto PMII Terhadap Pork Festival
Manifesto PMII Terhadap Pork Festival
Pork Festival, dengan 50 jenis makanan berbahan danging babi, yang diselenggarakan di area pusat perbelanjaan Sri Ratu mendapat penolakan keras dari FUIS.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6xqa8KkNjzz8C46IuP1KqYH7iLA9m3k2pgjWsn6Cyp1jwCVW-nn16QznaQenTZtlvGpFEfqHCeUpPr_vLkup9YqCobpaAmuW1zxgcscwSCAZ8MfyZ9Z9FsZ1iTu-cz6sWLWVbSkKmIwE/s640/11111.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6xqa8KkNjzz8C46IuP1KqYH7iLA9m3k2pgjWsn6Cyp1jwCVW-nn16QznaQenTZtlvGpFEfqHCeUpPr_vLkup9YqCobpaAmuW1zxgcscwSCAZ8MfyZ9Z9FsZ1iTu-cz6sWLWVbSkKmIwE/s72-c/11111.jpg
PMII Semarang
https://www.pmiisemarang.or.id/2017/01/manifesto-pmii-terhadap-pork-festival.html
https://www.pmiisemarang.or.id/
https://www.pmiisemarang.or.id/
https://www.pmiisemarang.or.id/2017/01/manifesto-pmii-terhadap-pork-festival.html
true
4367216603084741449
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy