Deliberasi Melalui Media Sosial

Repro: muafaelba/pmiisemarang 1 9 tahun setelah reformasi, perubahan yang fundamental terjadi dalam demokrasi di negara kita. ...


Repro: muafaelba/pmiisemarang

19 tahun setelah reformasi, perubahan yang fundamental terjadi dalam demokrasi di negara kita. Dari demokrasi “setengah hati”, berubah menjadi demokrasi yang “malu bertanya sesat di jalan”. Bandulnya bergeser jauh sekali, dari kiri ke kanan, dalam waktu yang relatif singkat. Tapi jangan lupa, perubahan yang cepat itu hanya terjadi di bagian atas bandul. Sementara itu apa yang terjadi di bagian bawah bandul?
Kita merasakan masyarakat yang jauh lebih banyak ada di “bawah sana”, masih di perjalanan menuju perubahan yang disebut-sebut di tingkat elit. Tidak bermaksud merendahkan intelektualitas, tapi dalam hal demokrasi, politik, masyarakat awam itu masih banyak yang merangkak. Jadi jangan heran kalau masih ada yang saling pentung di sana-sini, banyaknya golongan sakit hati yang terkesan sangat kekanak-kanakan dan Proses ini memakan waktu, dan memang butuh kesabaran.
Di era ini, media massa cenderung satu arah, elit, dan tidak tersentuh. Media massa punya posisi tawar yang tinggi, karena melalui mereka informasi tersebar dan media massa adalah satu-satunya sumber informasi bagi rakyat. Selain karena memiliki infrastrukturnya, juga memiliki sumberdaya manusia yang baik, media massa punya kemewahan untuk mengeksplorasi isu sesuka mereka. Meski kita tahu ada banyak kode etik yang mengatur cara bermain mereka, tapi para pemegang kebijakan di media, atau penguasa yang menindas media punya peluang mendominasi yang justru awalnya ingin meningkatkan eksistensi malah menjadikan turunnya integritas dan kualitas produk mereka. Seperti yang banyak terjadi pada kalangan intelektual mahasiswa hingga dapat julukan Persma (Pers kamar mayat).
Sekarang, jaman berubah. Media kini bisa di tangan siapa saja. Era Media 2.0 memungkinkan siapa saja kini menjadi produsen, tidak saja sebagai konsumen informasi. Terlepas apakah informasi itu valid atau tidak, sesuai kode etik atau tidak, tapi saluran komunikasi kini terbuka selebar-lebarnya untuk siapa saja. Kecuali mereka yang termarjinalkan oleh ketiadaan infrastruktur informasi dan telekomunikasi.
Soal kualitas wacana, atau komunikasi yang muncul saat ini memang masih didominasi komunikasi sehari-hari, bukan diskursus sebagaimana diharapkan Habermas. Tapi dominasi ini tidak akan langgeng. Akan muncul suatu masa dimana diskursus muncul sesekali, menembus dominasi komunikasi rujak cingur, meminjam istilah Gunawan Muhamad, dan membuat perubahan.
Demokrasi Deliberatif yang diteorikan Habermas, sedang mendapat celah. Celah itu memang tidak bisa ujug-ujug dibuka lebar, karena akan muncul risiko. Perlahan tapi pasti, celah untuk menembus dominasi elit dalam hal berkomunikasi tentang politik, juga dimiliki awam. Budaya bisu yang dulu mendominasi, kini mulai bangun dan menunjukkan kekuatannya. Habermas sudah mewanti-wanti, budaya bisu adalah musuh besar deliberasi.

“Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak terjadi. Karena dalam porses deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif. Tetapi setiap kebudayaan tertentu bisa mematahkan proses komunikasi dengan membuat orang tidak berdaya dalam kompetensi komunikatif. Orang dibiarkan pasif.
Tugas dari forum deliberasi adalah membangun kompetensi komunikatif. Caranya, membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri, memberikan ruang perbedaan pendapat sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat itu menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat itu ada cukup banyak perspektif yang dibuka. Dan yang lebih penting untuk silence culture, berbeda pendapat itu tidak menakutkan, tetapi memperkaya.”
Teori Demokrasi Deliberatif ini sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman Nazi. Di satu sisi, Nazi adalah kekuatan negara yang sangat besar, tapi itu baru setengah dari kebenarannya. Kebenaran yang lain adalah, Nazi mencerminkan peranan kelompok masyarakat yang kuat atas kelompok yang lain. Negara hanyalah tunggangan kelompok yang kuat itu. Setiap saat hukum dapat diubah-ubah sesuka Hitler, meski Hitler itu patuh pada hukum, tetapi hukum lebih patuh pada dia. Jadi, dia membuat hukum untuk menggolkan maksud-maksudnya.
Seharusnya civil society yang memegang peranan itu. Demokrasi yang diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif atas pemerintah. Artinya, produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, meski tidak berarti publik dapat mendikte pemerintah. Lalu bagaimana dengan praktek membeli suara publik? Memang, suara publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli tapi bisa ditelanjangi oleh publik sebagai suara yang dibeli, maka suara itu bisa kehilangan kualitas “publik”-nya, alias tidak bernilai publik. Jadi, kalau kita bisa menelanjangi manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak di permukaan dan akhirnya disadari oleh warga.

Media memiliki otonomi, dan oleh karena itu tidak boleh dikendalikan oleh modal dan/atau birokrasi. Kalau media massa masih dikendalikan, tugas forum warga mendeteksinya, dan menentang hingga mereka merasa tidak nyaman. Dan apa yang terjadi sekarang, warga melalui media sosial ada yang mampu menelanjangi “media yang dibeli” oleh kepentingan tertentu, sehingga warga sudah tahu nilai pemberitaan tertentu dari media tertentu, patut dipertanyakan obyektifitasnya.

Perkembangan media sosial, punya roh deliberatif. Di sini, setiap orang adalah suaranya sendiri. Ia bisa menggunakannya untuk manthuk-manthuk saja, atau bertanya, atau menyampaikan pendapatnya. Istilah user generated content, tepat sekali digunakan dalam konteks Habermas bicara tentang konsultasi publik dalam menggolkan sebuah Undang-undang. Yah, mengendalikan diskursif atas pemerintah melalui UU, dapat dilakukan melalui media sosial. Sebaliknya, jika pemerintah punya sensitifitas terhadap aspirasi rakyat, mereka bisa pandang peta pembicaraan di seantero negeri.
Jadi ketika terdapat berita yang hanya terdapat satu opini dari satu kubu saja, maka tampak naif dan sama sekali tidak elegan, kalau tidak mau dibilang kurang intelek. Bahwa media sekarang menekan posisi pemerintah hingga merasa tidak punya ruang gerak, itu adalah akibat dari apa yang mereka perbuat sendiri. Dimana-mana, ada asap kalau ada api.
Penyebaran media sosial, dan perluasan aksesnya ke berbagai lapisan masyarakat, saya percayai bisa menjadi jembatan untuk menghubungkan digital divide dalam masyarakat. Upaya melekmedia menjadi penting, karena kelompok masyarakat yang awam, cepat atau lambat akan menghadapi perkembangan teknologi informasi. Hingga saatnya datang, maka masyarakat itu harus sudah siap, agar tak lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya. Dan satu hal lagi meski pun yang dinamakan media harus netral bukan berarti anti politik, ketika ada seseorang yang mengatakan anti politik maka dia telah menciptakan politik gaya baru.
Ahmad Wildan Sukhoyya
PMII Komisariat Universitas Diponegoro
Read more: Demokrasi Deliberatif : Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas (F.Budi hardiman, 2009)

COMMENTS

Name

agenda,18,artikel,51,bincang,2,cyberia,4,kajian,1,ke-pmii-an,24,KEAGAMAAN,4,kebangsaan,2,KOPRI,2,Opini,34,pendaftaran,2,pendidikan,2,PMIITV,6,puasa,1,pustaka,9,ramadhan,2,rilis,10,warta,13,
ltr
item
PMII Semarang: Deliberasi Melalui Media Sosial
Deliberasi Melalui Media Sosial
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDrAWCDZniMVW840UXPUinAlVn05RC3CkDjUHdIH8L5Nd179N3oR7zka0wL1tgMJIpMCHTn7M1HaMvzt1ZiTPr68boKCM6qqkZdRYxQnY0VrH5omvVe2Spxu1ayC5nYw_1ilp4LOTIfxQ/s640/Wildan.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDrAWCDZniMVW840UXPUinAlVn05RC3CkDjUHdIH8L5Nd179N3oR7zka0wL1tgMJIpMCHTn7M1HaMvzt1ZiTPr68boKCM6qqkZdRYxQnY0VrH5omvVe2Spxu1ayC5nYw_1ilp4LOTIfxQ/s72-c/Wildan.png
PMII Semarang
https://www.pmiisemarang.or.id/2017/02/deliberasi-melalui-media-sosial.html
https://www.pmiisemarang.or.id/
https://www.pmiisemarang.or.id/
https://www.pmiisemarang.or.id/2017/02/deliberasi-melalui-media-sosial.html
true
4367216603084741449
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy