Repro: muafaelba/pmiisemarang Perkembangan ilmu sosial Indonesia sepanjang sejarah keilmuannya selalu berada di tengah-tengah medan y...
Repro: muafaelba/pmiisemarang |
Perkembangan ilmu sosial
Indonesia sepanjang sejarah keilmuannya selalu berada di tengah-tengah medan
yang saling tarik-menarik antara masyarakat dengan rezim kekuasaan. Semenjak
peneliti-peneliti kolonial Belanda seperti Snouck Hurgronje, T.S Raffles, Van
Vollenhoven, dan kawan-kawannya diutus untuk menjajaki dan mempelajari pola
kehidupan sosial masyarakat Indonesia, hasil-hasil penelitian mereka digunakan
untuk mengefektifkan kebijakan pemerintah kolonial. Hamzah Fansuri dalam
bukunya yang disadur dari tesisnya sendiri, menyajikan suatu gambaran historis perkembangan
ilmu sosial di Indonesia yang dinilainya selalu bermuara pada kepentingan
kekuasaan, hal itu senada dengan apa yang diutarakan Hamzah Fansuri dalam buku
“Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi”.
Hamzah Fansuri sering menyebut karya
ilmiahnya ini sebagai penelitian sosiologis mengenai sosiologi. Fansuri melacak
sejarah perkembangan ilmu sosiologi di Indonesia yang bermula dibawa oleh
sosiolog-sosiolog kolonial Belanda hingga momentum-momentum perubahan paradigma
sosiolog yang ditandai dengan berpindahnya rezim politik dan kekuasaan seperti
Orde Lama-Pasca Perang Dunia II, Orde Baru, hingga era reformasi. Fansuri dengan
apik menggunakan metode Critical
Discourse Analysis (CDA) untuk melacak jurang-jurang diskontinuitas perkembangan
sosiologi yang ditandai perubahan rezim-rezim kekuasaan. Melalui metode CDA,
Fansuri memaparkan hipotesa bahwa terdapat maksud kepentingan-kepentingan kuasa
yang membentuk wacana teori-teori sosiologi yang diajarkan di Indonesia.
Sepanjang masa penjajahan kolonial
Belanda, ilmu sosial Indonesia berakar dari pemikiran-pemikiran Eropa. Mengutip
Edward Said, Fansuri menjelaskan bahwa corak orientalis pemikiran Eropa dalam
meneliti masyarakat Indonesia memberikan stereotip yang melekat dalam
perkembangan sosiologi Indonesia selama era kolonial, yakni kebutuhan akan
sentuhan modernism Eropa. Pada masa kolonial, berkembang pendidikan Indologie yang berfungsi untuk
mempelajari sistem sosial masyarakat Indonesia bagi pamong praja Belanda. Studi
ini diberikan sepaket yang terdiri dari geografi, etnologi, dan linguistik.
Universitas Leiden menjadi sanggar utama pendidikan Indologie tersebut, didirikannya Royal Institute of Linguistics, Geography and Ethnology of the
Netherlands Indies atau KITLV yang dikontrol ketat oleh pemerintah kolonial
Belanda. Selain kebutuhan akademik, KITLV, dibawah kontrol pemerintah Belanda,
juga berfungsi untuk memenuhi kepentingan pemerintah dalam kaitannya dengan social control di wilayah Hindia
Belanda. Fansuri lebih khusus menyatakan bahwa KITLV sebagai lembaga penelitian
di bawah kontrol pemerintah, adalah modus doktrin kolonial yang lebih soft dan modern ketimbang menggunakan
misionaris, dengan dalih kepentingan akademis, KITLV juga menjadi agen
pemerintah yang membantu melanggengkan politik status-quo pemerintah kolonial
Belanda.
Pada tahun 1945, Jerman, Jepang,
dan Negara-negara kroninya menyatakan menyerah kepada Sekutu. Hal ini menandai
berakhirnya Perang Dunia II yang memakan korban jutaan orang, dan juga menjadi
momentum Indonesia untuk memerdekakan diri. Di bawah kepemimpinan pemerintahan
Sukarno, tampak perubahan haluan sosiologi global. Kawasan Asia Tenggara, terutama
Indonesia, menjadi obyek yang diminati untuk diteliti pola kehidupan
masyarakatnya. Hamzah mencatut beberapa universitas di Amerika Serikat yang
membuka pusat studi Indonesia seperti di Universitas Cornell, Universitas
Harvard, dan Universitas Berkeley. Universitas Cornell terutama, yang membuka
pusat studi Indonesia dan menjadi keran utama mengucurnya akademisi-akademisi
sosial Indonesia bentukan Amerika.
Perubahan haluan politik
Internasional pasca PD II yang segera bermuara pada Perang Dingin tidak
terlepas mempunyai andil kepentingan terkait berkembangnya studi Asia Tenggara
di Amerika Serikat. Kepentingan AS di Indonesia disusupi melalui modus-modus
pendidikan dengan melakukan kerjasama exchange
dengan beberapa universitas di Indonesia. Program exchange ini disinyalir menjadi proses promosi ide-ide pembangunan
dan modernisasi yang menjadi motor ideologi AS dan berusaha untuk
disebarluaskan. Mengingat, politik Sukarno yang anti imperialisme dan posisi
Indonesia sebagai Negara besar di Asia Tenggara menjadi sasaran empuk bagi
politik kedua Blok. Jargon-jargon pembangunan dan modernisasi yang didasari
oleh teori-teori sosial Talcott Parsons, Max Weber, yang menjelaskan sistem
masyarakat sebagai sistem yang terbuka dan saling bergantungan dan berinteraksi
dengan masyarakat lain di era global.
Corak ilmu sosial Amerika yang
liberal, pragmatis, dan dianggap aplikatif bagi Negara dunia ketiga praktis
menjadi patron akademisi-akademisi Indonesia menimba ilmu. Hal ini juga tidak
terlepas dari kemacetan ilmu-ilmu sosial peninggalan Belanda yang bercorak
Orientalis, sedangkan AS pun menanggapi trend tersebut dengan memfokuskan studi
ilmu sosial pada studi-studi kawasan Negara dunia ketiga. Fansuri selanjutnya
memaparkan bahwa pada konteks dunia ketiga, teori modernisasi selain diarahkan
kepada sektor perekonomian, juga mengangkat persoalan substansial yaitu aspek
kebudayaan. Amerika Serikat terbukti berhasil dalam membantu Negara-negara
Eropa melalui proyek Marshall Plan, namun menemui kesulitan ketika proses modernisasi
ditujukan kepada Negara-negara korban perang dunia II yang baru merdeka,
Lantas, asumsi beberapa sosiolog AS menemukan faktor kebudayaan dan mentalitas
masyarakat di Negara-negara tersebut yang menyebabkan macetnya proses
modernisasi. Karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengupayakan proses
modernisasi seperti mengadopsi konsep Weber mengenai Need for Achievement guna mengatasi problem mentalitas berkarya dan
berprestasi masyarakat yang berujung pada konstruksi wacana modern berhadapan
dengan wacana tradisional sebagai praktik diskursif di dalam teori modernisasi.
Dengan memandang Negara Dunia Ketiga sebagai kawasan terbelakang dan butuh
sentuhan modernisasi, terutama kehidupan politik pemerintahan, teori
modernisasi dicanangkan sebagai program kebijakan yang tepat untuk mengatasi
krisis ekonomi, politik, dan sosial, terutama di Indonesia.
Wacana-wacana pembangunan dan
kapitalisasi sebagaimana diiklankan AS selama era Orde Lama mencapai posisi
paling terang ketika rezim pemerintahan bergeser ke era Orde Baru di bawah
pimpinan Suharto. Fansuri menyimpulkan bahwa bubungan antara ilmu sosial
Indonesia dan pembangunan nasional sebagian besar disebabkan oleh kebijakan
pemerintah Suharto yang ingin menstabilkan pola politik dan sosial dalam Negara
setelah era Sukarno yang di akhir pemerintahannya, cenderung otoriter dan
bernuansa komunisme. Strategi pembangunan modern menjadi jargon politik utama
pemerintahan Orde Baru sehingga kerap dinamakan Pembangunanisme. Strategi ini
selain menjadi fondasi politik untuk legitimasi kekuasaan, namun juga menjadi
fondasi ideologis Negara atau dengan kata lain bentuk tafsir lain terhadap
Pancasila.
Pemerintahan Orde Baru dengan
Pembangunanisme-nya mempunyai ciri khas yang berbeda dengan era Orde Lama,
dimana Orde Lama cenderung memfokuskan pengembangan karakter bangsa berwawasan
politik anti imperialis, sedangkan Orde Baru mengganti poros pembangunan
nasional yang diawali kemapanan ekonomi. Dengan demikian, perubahan paradigma
yang kontras ini juga mengubah arah perkembangan ilmu sosial Indonesia,
terlebih dengan poros pembangunan ekonominya, menjadikan arah politis
studi-studi sosial menuju pertumbuhan ekonomi prioritas utama. Ekonomisasi
ilmu-ilmu sosial ini ternyata memberikan nuansa baru yang lebih menjanjikan
bagi para ilmuwan sosial. Hal ini terlihat dari upaya Pemerintah yang berani
mengucurkan dana untuk mendukung penelitian dan aktivitas keilmuan. Melalui
strategi pembangunan, Orde Baru mengharapkan adanya kontribusi dari setiap
aspek ilmu sosial dan ekonomi untuk mendukung program pembangunan Negara,
contohnya Fansuri menyinggung penetapan Tridarma Pendidikan Tinggi yang terdiri
dari pendidikan, latihan serta pelayanan masyarakat. Hal ini lantas menjadikan ilmu sosial sebagai
alat legitimasi rasional bagi program-program kerja pembangunan pemerintah.
Perubahan poros teoretis kajian
sosiologi di Indonesia berbanding lurus dengan kepentingan rezim politik baik
di kancah Indonesia sendiri maupun global. Pada masa Orde Baru, jargon
pembangunan identik dengan globalisasi dan modernisasi, hal tersebut menjadi
diskursus utama dalam perkembangan keilmuan. Bagi kajian sosiologi ilmuwan
Indonesia, ilmu-ilmu sosial berkembang pada teori-teori sosial Auguste Comte,
Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Talcott Parsons. Teori-teori tersebut
yang berputar di tema modernisasi dan Negara industri disebarluaskan untuk
mengembangkan kapitalisme modern. Teori-teori modernisasi tersebut
mendikotomikan kesejahteraan masyarakat antara masyarakat “maju” dan masyarakat
“terbelakang” dengan patokan Negara-negara barat terutama Amerika Serikat. Hal
ini secara politis berkaitan dengan kepentingan Amerika Serikat di era awal
Perang Dingin untuk menyaingi komunisme yang juga berkembang di Negara-negara
dunia ketiga. Perspektif sosiologi Parsonian yang menekankan pada masyarakat
terbuka dan pemeliharaan keseimbangan sistem sosial tampak jelas mendominasi
diskursus sosiologi Indonesia. Sarjana-sarjana Indonesia lulusan Amerika
Serikat kemudian sering menempati posisi-posisi tinggi dalam institusi
pendidikan untuk mengembangkan sosiologi Parsonian tersebut dimana dinilai
sejalan dengan arah ideologis pembangunan Orde Baru. Sosiologi Parsonian yang
bercorak positivistis, bebas nilai, dan obyektifitas-universal memainkan peran
kunci dalam pembangunan gagasan pembangunan sistem politik serta ekonomi
sebagai pembangunan nasional yang bersifat teknokratik dan birokratik.
Secara faktual, sosiologi
sebenarnya tidak ditempatkan sebagai kajian prioritas untuk disponsori
pemerintah, karena corak ideologis pembangunanisme yang ekonomistis. Namun
perkembangan sosiologi oleh era Orde Baru kemudian dijadikan acuan utama dalam
merancang kebijakan-kebijakan rekayasa sosial sesuai ideologi pembangunan.
Sosiologi fungsionalisme Parsonian dinilai lebih cocok ketimbang ilmu sosial
Marxisme yang berlawanan muatan politik rezim dan ilmu sosial warisan Belanda
yang terlalu filosofis. Corak empiristis Amerika dianggap mampu menjawab
tantangan-tantangan permasalahan Indonesia yang dianggap telah tertinggal jauh
dalam kancah global di bawah kepemimpinan Soekarno. Rekayasa sosial menjadi
tuntutan utama kajian sosiologi Indonesia untuk membentuk kehidupan masyarakat
Indonesia yang sesuai dengan ide-ide pembangunan Orde Baru. Di sini terlihat
kepentingan pemerintah untuk mengkooptasi segala bentuk kehidupan warga Negara
hingga bagian terkecil melalui kajian-kajian ilmiah, contohnya adalah politik
kooptasi tubuh yang dilakukan melalui kebijakan Keluarga Berencana (KB) dan
kebijakan-kebijakan teknokrasi dalam Pelita.
Kerakyatan
sebagai Poros
Hamzah Fansuri sudah jelas
menyatakan posisi ideologisnya sebagai kontra neoliberalisme. Ia mengingatkan
bahaya neoliberalisme yang sudah memangkas kesejahteraan masyarakat Indonesia
hingga kelas-kelas terkecil dan semakin meminggirkan identitas lokal masyarakat
Indonesia. Ia mengkritik jelas corak sosiologi klasik yang masih mendominasi
perguruan-perguruan tinggi di Indonesia bahkan hingga abad 21. Sosiologi klasik
yang memuja universalitas dan positivisme yang bebas nilai justru ketika diaplikasikan
dalam masyarakat Indonesia dapat menggeser posisi budaya adat dan identitas lokal
dengan menyebutnya sebagai “barbar”. Moralitas bebas-nilai dan murni-keilmuan
yang mendominasi ideologi perguruan tinggi justru mengubah tingkah laku
aktivitas keilmuan menjadi suatu prosedur wajib untuk memenuhi tuntutan status
quo.
Dalam risetnya, Fansuri meneliti
sebuah diskursus sosiologi yang sebenarnya telah lama ada, bagian dari
identitas kemasyarakatan Indonesia, namun seiring tren positivistik keilmuan
sosiologi, diskursus ini dianggap ketinggalan jaman, yakni diskursus
kerakyatan. Fansuri yang merupakan alumni Universitas Gajah Mada (UGM)
menelusuri dokumentasi ilmiah sosiolog-sosiolog UGM yang menggeluti tema ini,
mengingat sejarah berdirinya UGM sebagai universitas murah dan menjangkau
kelas-kelas bawah.
Diskursus kerakyatan yang
berkembang di UGM sesungguhnya sudah menjadi corak khas UGM dalam kaitan
sejarah berdirinya sebagai universitas “ndeso” atau terjangkau oleh kaum kelas
menengah-bawah. Sosiolog-sosiolog UGM sering membuat kebijakan yang memusatkan
kegiatan akademik pada studi pedesaan, contohnya Kuliah Kerja Nyata yang
diprakarsai Koesnadi Hardjasoemantri. Di tengah-tengah arus sosiologi modern AS
yang berpusat di Universitas Indonesia (UI), posisi UGM sering mengkritik
pandangan sosiologi modern yang tidak berpihak pada pembangunan desa dan
pemeliharaan identitas budaya lokal. Corak kekuasaan yang sentralistik,
birokratis, dan Jawa-sentris juga menyebabkan terhambatnya pembangunan desa
terutama di luar pulau Jawa. Realitas sosial seringkali dikesampingkan, dimana
hierarki kekuasaan dengan aparatus Negara tidak selamanya mampu menjadi wali amanat menyangkut kepentingan
rakyat yang lebih luas. Konsep piramida birokrat tidak menempatkan menjamin
terealisasikannya kebijakan-kebijakan pembangunan yang dilakukan kaum elit.
Konsep demokrasi birokrat seperti
ini cenderung menggiring pola pelaksanaan kebijakan bersifat prosedural, tidak
secara substantif. Terhambatnya akses rakyat kelas bawah terhadap produk-produk
pembangunan adalah hasil kebijakan yang salah sasaran tersebut. Sebagai
diskursus ilmiah, kerakyatan telah menjadi minat dan konsentrasi sebagian
sosiolog Indonesia yang ‘merakyat’ sebagai kontra atas ideologi-ideologi elit.
Pembacaan kritis terhadap ideologi pembangunanisme dan ancaman neoliberalisme
termasuk problem kemiskinan yang nyata.
Fansuri menjabarkan drama
historis perkembangan sosiologi dalam ranah ilmuan Indonesia sebagai hipotesa
kritis atas kepentingan elit-politis global terhadap masyarakat Indonesia
dibalut paradigma modern menjunjung universalitas, obyektivitas, dan bebas
nilai. Fansuri menyajikan praktik pewacanaan diskursus kerakyatan sebagai
bentuk perlawanan terhadap dominasi elit baik dari era kolonialisme hingga Orde
baru dan globalisasi. Konsensus kajian kerakyatan yang berfokus pada
kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, dan identitas budaya lokal melalui
teks-teks sosiologi yang diteliti Fansuri memberikan solusi atas
tantangan-tantangan zaman terhadap ilmu sosiologi yang hingga sekarang masih
berpusar di sekitar “pasar bebas”. Namun, Fansuri juga memaparkan lawan
ideologis yang telah bekerja secara sistematis, menjadi mainstream, dan melanggengkan dominasi kekuasaan elit. Logika
kekuasan baik pada lingkup organisasi lembaga hingga individu.
Buku Hamzah Fansuri telah
memberikan arah pembuka menuju aras ilmiah yang asli Indonesia. Namun tidak
dapat dipungkiri, untuk menjawab era globalisasi diperlukan bagi kita untuk
menetapkan posisi, antara menjaga identitas diri vis a vis masyarakat yang, menurut Jurgen Habermas, kosmopolitan.
Jurgen Habermas, dalam bukunya Knowledge
and Human Interest, menyebutkan bahwa adanya wacana (pengetahuan) tidak
terlepas dari muatan-muatan kepentingan baik itu individu maupun kelompok. Perkembangan
corak keilmuan Indonesia menunjukkan bahwa munculnya teori dan kritik selalu
diikuti dengan motif-motif politis manusia, karena memang begitulah sifat
aslinya. Namun meskipun diskursus kerakyatan jelas telah menempatkan posisi
ideologisnya pada kepentingan kaum bawah dan identitas lokal, perlukah kita
seakan menutupi diri dan memandang teori sebelah-sana sebagai ‘lawan’?
Nampaknya Hamzah Fansuri terlalu ‘memusuhi’ neoliberalisme-kapitalisme dengan
idealisme layaknya Soekarno tanpa memperhatikan era globalisasi yang menuju borderless society. Dan sebagaimana para
pegiat diskursus-diskursus populis, tema yang dibahas hanya terbatas lingkup
ekonomi, hak asasi seringkali dikerucutkan dalam konteks komunal, padahal perlu
diingat bahwa pada dasarnya selalu terdapat Yang-Lain
ketika suatu wacana diunggulkan. Hal ini semakin memperjelas bahwa adanya gap atau jurang pembatas yang memisahkan
wacana konflik vertikal dengan konflik horizontal, dan sayangnya jurang
tersebut dalam pandangan sosial masyarakat Indonesia masihlah konservatif,
yakni moralitas. Dalam era borderless
society, masyarakat tidak lagi dipandang sebuah kesatuan dengan dasar
identitas etnis saja namun sebagai keseluruhan peradaban dunia, dimana wacana
konflik tersebar permasalahannya hingga ke level eksistensialis sekalipun.
Maka, bagi pegiat-pegiat populisme dan pegiat-pegiat liberalisme, perlu kiranya
untuk tidak bersikap layaknya partai politik yang maju nyalon, namun sebagai kesatuan lingkup kehidupan yang kompleks,
dimana emansipasi dan toleransi harus dicapai.
Informasi buku:
Judul :
Sosiologi Indonesia, Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan
Penulis : Hamzah FansuriPenerbit : LP3ES JakartaTerbit : 2015Tebal : xviii + 210 halamanISBN : 078-602-7984-10-3Resensator : Ahmad Wildan Sukhoyya
Penulis : Hamzah FansuriPenerbit : LP3ES JakartaTerbit : 2015Tebal : xviii + 210 halamanISBN : 078-602-7984-10-3Resensator : Ahmad Wildan Sukhoyya
COMMENTS