Kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat telah memudahkan kehidupan kita. Tapi, seiring berkembangnya teknologi, banyak konten radikal yang mengancam NKRI.
Repro: muafaelba/pmiisemarang |
Kemajuan teknologi yang begitu pesat telah memudahkan kehidupan kita, terutama yang paling terasa adalah teknologi informasi. Apa-apa yang ingin kita ketahui, bisa diketahui dengan mudah dan instan. Jika ingin mengetahui kabar teman, tidak perlu bersusah payah menemuinya, cukup dengan melihat smartphone kita bisa tahu, bahkan kita bisa melihat kabar dunia.
Kemudahan akses ini membuat orang-orang berbondong-bondong memperbarui smartphone mereka, dengan tujuan bisa menikmati fitur terbaru yang lebih lengkap dan instan. Hal ini dibuktikan dengan naiknya pembelian hand phone dan naiknya pengguna internet di tahun lalu yang mencapai 132,7 juta pemakai dari total populasi 256 juta jiwa. Dan penggunaan internet di Indonesia hari ini didominasi oleh anak muda, (apjii.or.id).
Kemajuan dan kemudahan ini bukan berarti tanpa masalah. Banyak masalah yang muncul dan harus diperhatikan. Seiring berkembangnya teknologi, berkembang pula gerakan islam transnasional secara pesat. Dan bukan rahasia lagi, jika banyak orang islam yang dulunya kultural, berpindah posisi mengikuti islam transnasional. Apa yang terjadi?
Internet adalah lahan tak bertuan, siapapun boleh dan berhak memasuki dan menggunakannya. Siapa saja bisa upload konten di internet, tanpa adanya filter yang ketat. Tidak heran jika kita menemukan banyak rupa konten, bahkan yang berseberangan dengan ideologi kita. Karena internet bersifat terbuka bagi siapa saja.
Islam transnasional telah menggunakan internet secara mapan. Mereka banyak ‘berdakwah’ dan membuat opini untuk menggaet masa pendukung. Banyak sekali konten-konten yang berideologi fundamentalis, yang memicu aksi radikal bertebaran di Internet. Sering pula konten-konten itu berisi caci maki, hujatan, hasutan, fitnah, dan seterusnya. Dan konten-konten semacam ini di share lewat media sosial, yang penggunanya sangat banyak, bahkan anak-anak muda hampir seluruhnya memakai fasilitas ini. Akan berbahaya, jika kita, anak-anak, kerabat, atau rekan kita sering mendapatkan dan membaca konten itu, karena bisa saja mereka akan terpengaruh. Bukankah tabiat dan pola pikir ditentukan oleh apa yang kita serap, informasi?
Keterbukaan yang Tertutup
Berbarengan dengan hal di atas, pengguna internet di Indonesia belum begitu bijak. Mereka mudah percaya pada informasi yang dilihatnya di media sosial, lantas menge-share-nya tanpa melalui verifikasi. Tindakan ini sangat mudah dijumpai di facebook, bahkan penulis sering menemui akun user semacam ini. Bayangkan, jika banyak user akun yang asal share, konten tersebut akan lebih mudah dijumpai dan dibaca orang, dan jadinya akan lebih banyak orang yang terpengaruh.Penulis merasa heran, kenapa ini terjadi? Tindakan mudah percaya pada link, mudah menge-share, tidak peduli perasaan orang lain dengan menge-share link yang berisi caci maki dan hujatan, dan egois? Seakan-akan mereka tertutup dari dunia luar.
Internet seharusnya membuat orang lebih terbuka, Karena di sana kita banyak melihat rupa-rupa warna ideologi dan kultur. Semua aliran, ideologi, suku, agama, pemikiran, dan lain sebagainya berkumpul di ruang internet. Ini semacam dunia tanpa sekat. Tetapi anehnya, banyak user akun yang tertutup.
Selain hal di atas, eksklusifitas user akun tercermin dari sulit ditemukannya jalan damai (solusi) atas apa yang mereka perdebatkan. Penulis jarang menemui orang yang berdebat di media sosial menuai jalan keluar, yang ada hanya jalan buntu dan masing-masing bersikeras pada pendiriannya. Tidak jarang pula dalam berdebat, mereka menggunakan argumentasi ‘pokoknya’.
Dari itu penulis simpulkan bahwa sebenarnya media sosial bersifat tertutup, para pengguna terisolasi satu sama lain. Ketertutupan media sosial (facebook) disebabkan oleh algoritma filter bublle yang ditanamkan pada aplikasi itu. Algoritma ini menghalangi kita untuk melihat konten yang jarang dan tidak pernah kita lihat dan ‘klik’.
Hal ini memang cukup rumit, di satu sisi pengguna user akun masih banyak yang mudah percaya pada link, di sisi lain banyak juga dari mereka yang tidak mau menerima masukan dari pihak lain. Jika yang mereka percaya dan sebar adalah konten-konten anti-NKRI, maka NKRI menemui bahaya, ditambah pengguna media sosial paling dominan adalah kalangan muda, sebagai keberlanjutan bangsa ini.
Bagaimana Menyikapinya?
Sebagian besar kehidupan saat ini dihabiskan dalam media sosial, terutama anak muda, dan mungkin anak-anak kita. Tidak ada hari tanpa akses internet. Sedangkan dalam internet banyak konten yang merugikan apabila dikonsumsi tanpa filter. Dan tentu ini berbahaya bagi mereka yang belum punya pegangan.Melihat hal di atas, banyaknya konten milik islam transnasional, danbelum begitu bijaknya para akun user media sosial, penting bagi kita untuk menyikapi hal ini, agar anak-anak kita tidak ikut-ikutan terjerumus dalam masalah itu. Ada beberapa hal yang harus dilakukan guna menangkal konten islam transnasional tersebut, yaitu, salah satunya, penyeimbangan informasi di dunia maya. Sudah begitu banyak konten yang membahayakan NKRI, dengan mengatasnamakan agama, seperti ungkapan NKRI Syariah, Negara Khilafah, dan seterusnya, maka yang harus dilakukan adalah menyebarkan opini untuk menangkal opini anti-NKRI tersebut. Gunanya adalah sebagai pengimbang informasi, dan memperkecil kemungkinan bagi menyebarnya opini anti-NKRI.
Selain hal di atas, memberi pengarahan pada anak adalah hal yang sangat penting, untuk memberi pegangan kepada anak saat melihat suatu informasi. Tetapi juga jangan melarang untuk menggunakan internet. Memberi pengarahan bagaimana cara memfilternya, tidak melarang untuk akses internet, akan lebih baik. Karena memang teknologi komunikasi (internet) sangat dibutuhkan, dan orang tentu harus mengaksesnya, agar tidak ketinggalan zaman. Seorang guru atau orang tua harus memberikan pelajaran dan pengawasan kepada anak-anak mereka dalam menggunakan internet, agar tidak terjerumus pada faham yang menyesatkan.
Beberapa hal yang harus dilakukan adalah, pertama, ideologisasi, mereka harus menanamkan ideologi yang tepat kepada anak-anak tentang pengertian dan pengamalan islam yang moderat. Dan untuk mempertahankan ideologi ini, mereka harus sering bertatap muka, berdiskusi kepada mereka yang ahli, kiyai semisal. Karena ketika berdiskusi secara langsung (tatap muka) akan memberikan efek yang berbeda dengan yang sekadar berdiskusi lewat media, seperti facebook.
Kedua, memberikan pelajaran tentang filterasi konten. Hal ini merupakan pelajaran teknis, bagaimana kita menilai suatu konten, menguji sumbernya, dan lain sebagainya. Karena jika tidak demikian, maka mereka akan tetap terperangkap pada konten yang ada. Malah akan merasa bingung dengan banyaknya konten yang berbeda.
Ketiga, dan terakhir adalah pengawasan. Kita harus selalu mengawasi tingkah laku anak-anak kita untuk mendiagnosa apakah anak-anak masih berada pada jalur yang seharusnya. Dan dengan siapa mereka bergaul. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa mereka bergaul dengan orang yang kurang tepat.
Hal-hal di atas, kontra opini anti NKRI dan pembelajaran pengggunaan internet bagi anak harus selalu dilakukan, agar NKRI tetap aman ditempatnya. Ini bukanlah untuk kita, tapi untuk generasi penerus bangsa ini. Sudahkah kita mengkampanyekan NKRI dan mendidik anak kita?
Cak Adib
DPPIT PC PMII Semarang
COMMENTS