Gambar: repro suaramerdeka.com Investor dari berbagai negara mulai ramai datang ke Indonesia untuk menyuntik k an dana segar ke berba...
Gambar: repro suaramerdeka.com |
Investor dari berbagai negara mulai
ramai datang ke Indonesia untuk menyuntikkan dana segar ke berbagai sektor industri. Beberapa tahun
terakhir, khusus untuk pertambangan semen ada investasi dari China Triumph,
Anhui Cement dan State Development and Investment Cooperation (SDIC) asal
Tiongkok, Siam Cement dari Thailand, PT Jhui Shin Indonesia dari Taiwan atau
Semen Karawang, serta Wilmar (Semen Merah Putih), yang konsisten menyumbangkan
investasinya. Menurut Kementerian Perindustrian, sampai 2017 investasi tersebut
sebesar Rp 65,03 triliun. Bahkan pertumbuhan industri semen bisa mencapai kenaikan
angka 10% selama empat tahun terakhir. Lantas apakah hal ini menjadi gambaran
menyenangkan buat kita, atau sebenarnya ada suatu masalah yang tersembunyi
(disembunyikan oleh pihak pro-industri)? Lantas visi pembangunan
seperti apa yang sebenarnya hendak dibangun Indonesia?
Filosofi Pembangunan Pemerintah
Bagi penulis, hal ini lebih dikarenakan rezim
penguasa yang menggunakan developmentalisme sebagai landasan filosofi
pembangunannya. Developmentalisme pada dasarnya adalah sebuah ideologi ekonomi
yang mempunyai corak berupa rasionalitas tekno-ekonomi. Pembangunan ini bergaya
pragmatis dengan tujuan pencapaian target jangka pendek. Konsekuensi
developmentalisme adalah menaifkan tradisi dan nilai-nilai kesejarahan budaya
lokal. Pembangunan semacam ini sering tidak memperhitungkan atau malah tidak
menganggap penting suatu keadaan ideal yang diinginkan oleh masyarakat secara
kolektif.
Pemberian istilah developmentalisme pada pembangunan dengan corak
tersebut memang lebih tepat disematkan pada negara dunia ketiga, seperti
Indonesia. Sementara neo liberalisme seperti kita ketahui lebih tepat jika
dihubungkan dengan pola pembangunan negara maju seperti Amerika. Meskipun kita
tahu antara neo liberalisme dan developmentalisme itu sendiri sama-sama
menerapkan pasar bebas. Pembedaan pemberian istilah ini hanya untuk memudahkan
kita mencari hubungan ideologis ekonomi antar negara di dunia. Maka kita akan
tahu jika developmentalisme sebenarnya merupakan chemistry ideologis
kepentingan negara maju dengan elite politik di negara dunia ketiga.
Dalam teori pembangunan internasional, elite politik Indonesia
berpeluang mendapatkan tampuk kekuasaan di dunia internasional (dari organisasi
penganut developmentalisme: Amerika dan Inggris) jika berhasil memajukan
perekonomiannya. Tampuk kekuasan tersebut sebenarnya juga paket kebijakan
dimana elite pemerintahan Indonesia dipersilakan menggunakan utang luar negeri
dengan jumlah besar untuk mensukseskan agenda developmentalismenya. Maka jangan
heran jika program presiden merupakan chemistry ideologis yang sering
menguntungkan negara maju, terutama lewat ketergantungannya dengan IMF (International Monetary Found).
Kemajuan perekonomian yang dimaksud elite pemerintah bisa kita
lihat dari berbagai klaim yang dikeluarkannya. Klaim ketahan pangan,
pengendalian inflasi, pertumbuhan ekonomi di tengah krisis, penurunan rasio
gini, bahkan klaim peningkatan kesejahteraan rakyat secara derastis melalui program
sosial masing-masing rezim, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau program berbagai bantuan lewat kartu sosial (Dawam Rahardjo,
2006). Sementara ide tentang kesejahteraan dibangun berdasarkan pendekatan materialistik dan hanya dinarasikan secara
ekonomistik pula. Berdasarkan pola pemikiran dan seting dunia sosial politik
yang seperti itulah pembangunan industri dianggap sebagai jalan pintas
pengentasan kemiskinan, atau secara politis berarti meningkatkan elektabilitas
elite politik di tampuk kekuasaan dunia internasional. Parahnya, elite yang
menjadi tangan panjang kepentingan neo liberal tersebut tidak mampu menolak
pendiktean negara maju.
Masyarakat sebagai Obyek Pembangunan
Sementara dalam konteks pembangunan Indonesia, proses peminggiran
masyarakat sudah terjadi sekian lama. Pemerintah melakukan berbagai cara
sistematis untuk memastikan pembangunan ekonomi yang menekankan kepada
meningkatnya pertumbuhan ekonomi, terutama semasa Orde Baru. Pemerintah telah menggunakan
alat “ideologi politik” untuk memaksakan kehendak politiknya kepada masyarakat.
Demi kelancaran kehendak politik, pemerintah bahkan tidak jarang menggunakan
“perangkat negara” untuk menghadapi rakyat yang melawan seperti kasus tambang
di Papua. Kondisi seperti ini berlangsung lama sehingga mematikan nalar kritis
masyarakat terhadap program pembangunan pemerintah yang tidak sesuai dengan
kepentingan mereka.
Pemerintah cenderung bersikap birokratik dan teknokratik dalam
melihat pembangunan masyarakat. Sikap ini sering dimanifestasikan dalam bentuk
tingkah laku maupun pandangan yang menilai rendah kemampuan dan kekuatan yang
dimiliki oleh organisasi lain di luar organisasi pemerintah. Kecenderungan
seperti ini menghantarkan rakyat hanya sebagai obyek pembangunan, bukan sebagai
subyek pembangunan. Munculah pandangan yang menjelaskan kenapa pemerintah
memperlakukan rakyat sebagai sumber energi yang dapat digerakkan sesuai kehendak mereka (Lukman Sutrisno, 1998). Kecenderungan
ini bisa dilihat saat Ganjar Pranowo menanyakan apakah warga sudah membaca
AMDAL pabrik semen lantaran menolak pendirian pabriknya, dan atau malah
menanyakan siapa yang mendesain kotak kayu saat proses pengecoran kartinikendeng ketimbang menanyakan subtansi tuntutannya. Pertanyaan tersebut
mencerminkan betapa pemerintah menganggap organisasi di luar mereka sangat
rendah kualitasnya.
Sumber Masalah dan Pengantar Setrategi Perlawannya
Saat isu climate change digulirkan melalui Conference of Parties
(COP) PBB mengajak negara-negara anggotanya membuat kesepakatan tentang
mitigasi berbagai permasalahan lingkungan. Negara yang sadar tentang
bahaya kerusakan lingkungan,
akhirnya mengurangi berbagai sektor industri ekstraktif dan
mengembangkan industri ramah lingkungan atau malah mengembangkan industri
pertanian dan peternakaanya. Sementara situasi dimana negara-negara lain yang
memundurkan diri dari industri untuk menekan pencemaran emisi karbon, dibaca
Indonesia sebagai potensi ekspor. Pembacaan pemerintah yang seperti itulah yang
akhirnya membawa huru-hara
di tengah masyarakat yang terdampak industri tambang. Bagi penulis sudah
saatnya kita melakukan perperangan melawan rezim pengetahuan, rezim politik,
rezim ekonomi dan rezim kebudayaan.
Perang
melawan rezim pengetahuan adalah strategi penggantian paradigma pembanguan yang
antroposentrisme menjadi ekosentrisme. Perang pengetahuan juga harus mampu
mendikotomikan secara jelas mana yang dimaksud kemanfaatan universal dengan
kemanfaatan partikular. Sehingga dalih tambang sebagai peningkat APBN
(kemaslahatan universal) mampu terkuak jika ternyata hanya menguntungkan
beberapa elite. Sebagai
catatan, 49%saham Semen Indonesia bukan milik negara (kemanfaatan
partikular). Kemudian konsep sejahtera
ataupun konsep kemiskinan pemerintah dengan masyarakat harus dijadikan pertimbangan serius
pembangunan. Petani yang sudah puas dengan definisi mereka tentang sejahtera
harus dihargai.
Sudah saatnya mereka menjadi subyek pembangunan, bukan obyek pembangunan yang dianggap tertinggal.
Terlebih jika Bank Dunia menetapan keluarga miskin yang dalam sehari
mengeluarkan tidak lebih dari 2 USD, maka petani pegunungan Kendeng Utara bisa
diartikan tidak lagi miskin. Pihak kampus dan akademisi profesional harus
perang dalam ranah pengetahuan.
Setelah
kejahatan terbesar adalah sesat pikir, maka kesalahan terbesar selanjutnya
adalah “dosa legislasi”. Politikus yang jujur dan berintegritas harus
dimunculkan untuk memerangi politik sangkar besi politik dinasti. Bahkan
meningkatnya budaya tambang berbanding lurus dengan meningkatnya angka korupsi.
Seperti penulis sebutkan di atas, bahwa desentralisasi melahirkan raja kecil
baru. Surat Izin Usaha Penambangan jumlahnya lebih banyak dibanding orang yang
harus mengawasinya.
Perang politik ini harusnya mampu menyentuh kepada pengoreksian UU Pokok
Agraria, UU Penanaman Modal Asing serta UU pertambangan. Jika tiga UU tersebut
gagal terkoreksi sebenar apapun rezim pengetahuanya tentu tidak sejangkalpun
perbaikan kita hasilkan.
Selanjutnya perang melawan rezim
ekonomi. Sebagai negara agraris harusnya Indonesia lebih memperioritaskan
sektor pertanian. Jika menengok janji politik Jokowi, bahkan poros maritim
perlu dipertanyakan kembali keseriusannya. Evaluasi ekonomi dalam kasus izin
pertambangan harus dilakukan dengan data ketat oleh lembaga independen. Bahkan
asas pemerataan harusnya digaris bawahi untuk diseriusi dibanding asas
pertumbuhan. Warga yang menerima tambang tidak jarang lantaran janji
pembangunan infrastruktur dari industri, jika saja negara tidak absen memenuhi
kewajibannya menyediakan infrastruktur tentu masyarakat punya pilihan lain
selain menerima tambang. Absennya negara harus dipertanyakan. Lembaga
independen harus diperbanyak untuk melakukan kontrol pemerintah dan penguatan
masyarakat sipil.
Terakhir
harus ada yang perang dalam rezim kebudayaan. Revitalisasi kebudayaan lokal
perlu dilakukan agar masyarakat tidak tercerabut dari nilai-nilai luhur
kebudayaannya dengan alam. Penghayatan warga Kendeng yang mengasosiasikan tanah
sebagai ibu bumi hanya bisa dipahami oleh orang yang punya nilai luhur
kebudayaan. Jika tidak maka tanah dianggap benda mati yang biasa berpindah
tangan setelah harga negoisasi mendapatkan kesepakatan. Krisis ekologi
Indonesia sudah parah. Kita harus berperang melawan empat rezim yang salah
kaprah. Penguatan jaringan harus dilakukan agar empat rezim tersebut bisa
diperangi secara bersamaan. Jika peperangan ini dilakukan secara partikular maka
jangan harap ada teriakan “Kendeng Lestari”. Sudahkah kita mengambil sikap dan
berpihak berperang melawan salah satu rezim tersebut?
Pengurus PMII Cabang Kota Semarang
COMMENTS