Dunia ketenagakerjaan kita, akhir-akhir ini, digemparkan dengan mencuatnya pemberitaan Siti Aisyah sebagai pelaku pembunuhan Kim Jong-nam.
Foto Repro: @muafaelba/@pmiisemarang | |
Dunia
ketenagakerjaan kita, akhir-akhir ini, digemparkan dengan mencuatnya
pemberitaan Siti Aisyah sebagai pelaku pembunuhan Kim Jong-nam. Setelah
diselidiki lebih mendalam, ternyata Siti Aisyah, yang dikenal sosok wanita
sederhana, ialah TKI ilegal yang hanya menamatkan sekolah di tingkat dasar.
Ini
meneguhkan kita akan beberapa hal. Pertama, pihak pemerintah, terkhusus kementerian
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, dan BNP2TKI yang bertugas mengatur dan
mengawasi tenaga kerja Indonesia (TKI), ternyata tidak efektif dalam
menjalankan tugas. Masih menyisahkan TKI ilegal, akibatnya tidak ada
perlindungan dan keamanan.
Kedua,
kenyataan bahwa Siti Aisyah itu hanya seorang wanita yang menamatkan sekolah di
tingkat dasar saja. Menandaskan bahwa masih adanya ketidakadilan gender di
republik ini. Dimana terjadi stereotip bagi kaum wanita yang melekat dalam
masyarakat (tradisional-feodalistik). Wanita tidak perlu sekolah tinggi, karena
kelak hanya mengurus rumah, suami, dan anak.
Ketidakadilan
gender karena bentukan konstruksi sosial tertentu di suatu masyarakat (Lihat: Mansour Fakih, Analisis
Gender dan Transformasi Sosial). Adanya ketidakadilan gender bukan akibat perbedaan
kelamin, namun dari paradigma masyarakat. Baik melalui agama, secara umum, yang
menempatkan lelaki sebagai pemimpin keluarga dan wanita yang dipimpin (sub-ordinat).
Maupun melalui adat dan bahkan perundangan yang timpang.
Tidak
hanya stereotip dan subordinasi yang kerap didera wanita dalam kehidupan
bermasyarakat. Ada ketidakadilan lain, seperti beban ganda dalam kerja. Ketidakadilan ini nampak pada tuntutan kepada
wanita untuk merawat anak sekaligus merangkap mengurus rumah. Tidak hanya
menyuapi anak, tapi juga membersihkan rumah dan memasak. Padahal, kenyataannya,
bidang pekerjaan ini dapat pula dilakukan lelaki.
Keputusan
“nekat” Siti Aisyah dan wanita lain yang senasib, melamar jadi TKI walau ilegal,
tidak mengherankan. Walau resiko terdeportasi, rentan kekerasan, dan
ketidakamanan menghantui. Hanya karena beban kerja ganda untuk mencukupi
kebutuhan sendiri, juga dituntut memberi nafkah kepada keluarga. Ditambah
persaingan ekonomi-kapitalistik yang ketat.
Di
samping menurut Mansour Fakih, ketidakadilan gender dari wujud konstruksi
sosial mengikis sensitifitas atau kepekaan terhadap kekerasan dan ketidakadilan
gender di sekitar. Wal hasil, Siti Aisyah maupun wanita lain dipastikan tidak
merasa diperlakukan tidak adil. Bahkan mereka mengonfirmasi bahwa konstruksi
sosial itu sebagai kodrat. Jadi, wajar-wajar saja.
Ketidakadilan
dalam WID
Adanya
sikap membenarkan ketidakadilan gender oleh masyarakat termasuk dari pengaruh
hegemoni yang sudah mapan (Lihat: Mouffe dan Laclau, Hegemoni dan Strategi
Sosialis). Sebagaimana menurut Robert Merton dan Talcott Parsons dalam
teori sosial fungsionalisme struktural. Pada gilirannya, seperti subordinasi
terhadap wanita yang hakikatnya tidak adil menjadi tata susunan masyarakat yang
mesti ada dan legitim.
Guna
mendobrak hegemoni itu, muncul Women In Development pada 1970an yang dimulai ketika pemerintah AS mengumumkan
The Percy Amendment yang memberi perhatian penuh pada wanita. Kemudian
memengaruhi PBB mengeluarkan kebijakan International Decade of Women hingga ada ratifikasi Konvensi ILO
No. 100. Guna memberi kesempatan dan kedudukan yang sama antara wanita
dan lelaki dalam proses pembangunan.
Walau
Women In Development dianggap sebagai jawaban atas kritik kelompok feminis.
Kenyataannya, perlibatan wanita dalam pembangunan tidak justru memberi
keadilan, malah cenderung menghisap tenaga wanita secara eksploitatif (Lihat:
Munir, Gerakan Perlawanan Buruh).
Dimana
patriarkhi tidak serta merta tiada, sehingga nilai tawar wanita tetap rendah
dibanding lelaki. Artinya, walau wanita punya kebutuhan lebih daripada lelaki,
mereka tetap diupah dengan besaran nominal yang sama bahkan kurang (Lihat: data
LAIDS tentang kondisi buruh Jawa Timur, 1993)
Wanita
dan Lelaki itu Sama
Menurut
Islam, kedudukan wanita dan lelaki itu sama (Baca: QS An-Nisa: 1). Maka, oleh
karenanya wanita yang jadi istri berkewajiban pada suaminya, dan lelaki yang
jadi suami berkewajiban pada istrinya. Ini membedakan dengan Women In
Development, yang menitik beratkan pada kebebasan tapi tidak diiringi
dengan keadilan.
Ditambah
ada dalil yang mengatakan bahwa Allah SWT tidak memandang derajat seorang hamba
dari kedudukan maupun kekayaan, tetapi dari ketaqwaannya. Artinya,
ketidaksetaraan wanita dengan lelaki bukan kodrat, tapi murni konstruksi
sosial. Bahwa siapa saja dapat unggul asal bertaqwa.
Adapun
ayat yang berbunyi, ar-Rijalu
Qowwamuna ala an-Nisa, lelaki
adalah pengelola atas wanita. Menurut Ashgar Ali Engineer (Lihat: The Right
of Women in Islam), hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur
dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan bukan suatu norma ajaran. Dan perlu
digarisbawahi, bahwa “qowwam” memiliki
makna yang berpolisemi.
Tanggung
Jawab Bersama
Maraknya
TKI ilegal, terutama wanita, menjadi garapan dan tanggung jawab negara. Tetapi
akan sangat naif bila tanggung jawab sepenuhnya diserahkan kepada negara,
terkhusus pemerintah dan aparat. Sebab, sangat dimungkinkan terjadi
penyelundupan TKI yang luput dari pengawasan pemerintah dan aparat oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Selain
pemerintah dan aparat giat bergerak. Sebagai warga negara di republik ini, ada
beberapa hal yang mesti kita galakkan. Pertama, memberi pendidikan
gender kepada masyarakat sekitar. Kedua, menerangkan bahwa dalam agama
itu kedudukan wanita dan lelaki sama tapi yang membedakannya dari segi
ketaqwaan. Ketiga, Bersikap adil sejak dalam pikiran kita.
Yakinlah,
bahwa ketidakadilan gender tidak selalu didalangi oleh kelompok jahat tertentu.
Melainkan sudah menjadi energi jahat yang memonopoli struktur bahasa, relasi
kekuasaan, dan hingga spiritualitas. Penyelesaiannya tidak cukup membuat
undang-undang dan menegakan aturan, sebab bersikap tidak adil bisa dialami
siapa saja. Dari mulai diri kita sendiri, mari melawan energi jahat itu. Minal
jihaadil ashghar ilaa jihaadil akbar!
Much. Taufiqillah Al Mufti
Pengurus PC PMII Surabaya
COMMENTS