Pancasila yang kita terima hari ini adalah kesepakatan yang pernah di teken oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang nasionalisitik pa...
Pancasila
yang kita terima hari ini adalah kesepakatan yang pernah di teken oleh para
ulama dan cendekiawan muslim yang nasionalisitik pada 18 Agustus 1945 lalu
dalam sidang PPKI. Setelah melewati proses perdebatan panjang, beliau-beliau
bersedia menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang hari ini kembali diributkan
oleh kelompok unyu-unyu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam
maupun kekhalifahan.
Rumusan
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama adalah buah pikiran dari Ki Bagus Hadikusumo,
tokoh Islam dalam BPUPKI yang pada awalnya menolak dengan keras penghapusan
tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun, karena keinsyafan bahwa Indonesia bukan
hanya barat -mayoritas muslim-, tapi juga timur -mayoritas non muslim-, maka
beliau bersedia menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Keputusan itu dengan
syarat, beliau sendirilah yang menyusun sila pertama hingga akhirnya muncul
kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Segala
upaya pada masa lalu yang ingin mengubah pancasila dan merongrong NKRI gagal. Pemberontakan
bersenjata seperti PRRI-Permesta, DI/TII, PKI Madiun 1948, G-30S 1965 hancur.
Usaha lewat jalan politik dalam sidang konstituante 1956-1959 juga gagal.
Fakta
demografis bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim memang benar adanya.
Akan tetapi fakta geografis -khusunya di Indonesia Timur- tidaklah demikian.
Sehingga usaha untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, usaha untu
menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam,
maupun usaha untuk mendirikan Khilaf(ah) adalah ketidakpahaman atas
sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika bukan karena ego
golongan yang ingin merusak rajutan kebhinnekaan yang telah dijalin dengan
susah payah oleh para kyai dan ulama kita pada masa perjuangan kemerdekaan.
Kini,
usaha itu datang lagi. Lewat kelompok yang tertata rapi pasca reformasi.
Menjadikan Indonesia sebagai negara berlandaskan Islam maupun kekhalifahan
dianggap sebagai kewajiban syariat. Namun lupa bahwa maqasid syariah
telah terpenuhi di negara yang dianggap thaghut ini.
Pemerintah
lengah, sekelompok anak muda yang tergabung dalam LDK mendeklarasikan sumpah
untuk menegakkan negara Islam ataupun kekhalifahan di kampus besar yang mendapatkan
dana besar dari pemerintah. Beredar pula video yang dibuat beberapa tahun lalu.
Isinya mencengangkan, Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka hari ini mendukung
khilaf(ah), meski telah memberi klarifikasi. Jika pemerintah masih juga lengah,
biarlah NU berdiri: menentang mereka yang ingin merongrong NKRI dan mengganti
Pancasila. Santri-santri NU masih ingat dengan betul fatwa dari Hadratus
Syaikh-nya,hubbul wathan minal iman yang mampu mengobarkan pertempuran 10 November 1945,
jauh sebelum kelompok unyu-unyu itu lahir.
Tak
perlu Indonesia menjadi negara Islam yang akan merusak rajutan kebhinekaan NKRI.
Cukup Indonesia seperti hari ini, menjadi negara dengan dasar moral luhur
sebagaimana diajarkan oleh Islam. Cukuplah Indonesia dengan NKRI -Negara
Kesatuan Republik Indonesia-, tak perlu menjadi Negara Khilaf(ah) Rasyidah
Indonesia. Karena Khilafah yang benar-benar Rasyidah telah berakhir dengan wafatnya
Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Oleh Moeh Zaenal Abidin
Wakil Ketua II PC PMII Kota Semarang
COMMENTS