Judul di atas penulis kutip dari salah satu tulisan Gus Dur di buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Era Lengser . Sebenarnya...
Judul di atas
penulis kutip dari salah satu tulisan Gus Dur di buku Kumpulan Kolom dan
Artikel Abdurrahman Wahid Era Lengser. Sebenarnya penulis sudah membaca
buku tersebut sejak awal penulis kuliah di UIN Walisongo, namun baru pembacaan
yang entah sudah beberapa kali, baru penulis mampu mengulasnya menjadi sebuah
tulisan.
Dalam akhir
tulisannya yang berjudul Membaca Sejarah Lama (1), Gus Dur mengkritik
pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah kita yang hanya berhenti atau lebih
mementingkan menghafal tahun kejadian, dari pada memahami sejarah sebagai
sebuah proses.
Bagi Gus Dur,
menjadi penting memahami sejarah sebagai sebuah proses. Penulis mengamini apa
yang dinyatakan Gus Dur tentang memahami sejarah sebagai sebuah proses. Dengan
memahami sejarah sebagai sebuah proses, manusia akan dekat dengan identitasnya.
Dan, juga akan mampu meneruskan proses yang telah dilalui oleh para pendahulu,
sehingga tidak mengulanginya lagi.
Pembacaan pagi
ini tentang memahami sejarah sebagai sebuah proses, menggelitik penulis
terhadap sebuah kemungkinan, bahwa jangan-jangan hari ini kita tidak memahami
sejarah sebagai sebuah proses. Kasus-kasus yang mencerminkan berkurangnya rasa
toleransi kita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini sedikit banyak
menggambarkan bahwa kita tak memahami sejarah sebagai sebuah proses.
Seharusnya, jika kita memahami sejarah sebagai sebuah proses, tidak hanya menghafal
hari kemerdekaan Indonesia, kita tentu akan memahami bahwa berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil jerih payah para pendahulu. Dan
kita tentu ingat mereka tidak terdiri hanya dari satu agama dan suku. Rakyat
Indonesia yang beraneka ragam bersatu untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Tentu
kalau kita paham ini, tak ada alasan bagi kita, rakyat Indonesia melakukan
hal-hal yang mencerminkan intoleransi, baik antar etnis, suku maupun agama,
kecuali tidak memahami sejarah sebagai sebuah proses.
Teman-teman
kita yang sekarang masif berkampanye ingin mengganti Pancasila dengan paham khilafah islamiah
sebagai asas Indonesia, sepertinya mereka termasuk yang tidak memahami sejarah
sebagai sebuah proses. Kalau mereka memahami sejarah sebagai sebuah proses,
tentu akan merenungkan bagaimana proses pemilihan Pancasila sebagai asas Negara
Indonesia. Terpilihnya Pancasila, tidaklah melalui proses yang mudah, melainkan
proses yang alot. Para founding father telah mendiskusikannya secara
serius tentang hal itu. Pemilihan Pancasila, dan bukan Piagam Jakarta,
merupakan keputusan final yang telah melalui pertimbangan secara matang. Maka tak
berlebihan, jika penulis menyebut teman-teman kita yang ingin mendirikan khilafah
di Indonesia ini tidak memahami sejarah sebagai sebuah proses.
Bagi mereka
yang memahami sejarah sebagai sebuah proses, mempertanyakan dan ingin menggugat
asas negara, tentu seperti mengulang masa lalu, yang telah selesai. Artinya,
mundur setengah abad lebih ke masa silam. Oleh karena itu, sekarang sudah tidak
saatnya lagi mempertanyakan hal itu, kecuali kita ingin
berjalan mundur.
Dengan memahami
sejarah sebagai sebuah proses, sudah tidak lagi relevan mendiskusikan asas apa
yang tepat bagi negara kita tercinta ini. Kiranya, akan lebih tepat
mempertanyakan, apakah selama ini kita benar-benar telah mengamalkan apa yang
tertuang dalam butir-butir Pancasila. Dengan begitu kita tidak berjalan mundur,
tapi berjalan maju, meneruskan harapan para pendahulu. Bukankah begitu?
NB: Tulisan ini terbit juga di Majalah Santri, LPS al-Fikroh, Ponpes TPI al Hidayah.
Oleh: Zaimuddin Ahya
Departemen Pers dan Teknologi Informasi PC PMII Kota Semarang
COMMENTS