Gambar: isigood.com Sudah sematang apa demokrasi di Indonesia? Nampaknya telah sampailah kita pada era paradoks demokrasi. Zaman dimana...
Gambar: isigood.com |
Sudah
sematang apa demokrasi di Indonesia? Nampaknya telah sampailah kita pada era
paradoks demokrasi. Zaman dimana aksi menolak sistem demokrasi dilakukan dan
dipertontonkan secara demokratis. Seperti “ulama” yang melarang umatnya
berdakwah melalui televisi tetapi ia menyampaikan pesannya melalui televisi
nasional. Ukuran kebenaran dalam demokrasi yang sudah seperti ini lantas
dibentuk oleh aspirasi yang disampaikan secara paksa, asal massa dalam jumlah banyak
menyetujui dan membenarkan maka itulah kebenaran final. Kebenaran publik lantas
diukur dari seberapa banyak massa yang setuju. Minoritas akhirnya kesulitan
menyampaikan aspirasi, lantaran jika mufakat buntu, tradisi voting seolah
mutlak dibenarkan. Memburu kebenaran di era paradoks demokrasi hanya sekadar
masalah mengusahakan seberapa banyak orang setuju pada persoalan yang sedang
kita ajukan, meskipun jelas terang benderang bertentangan dengan akal sehat,
masa bodoh! Semacam inikah demokrasi yang kita citakan?
Indonesia
adalah masyarakat heterogen dengan beragam latar belakang sosial, ekonomi dan
keunikan politik yang berbeda-beda. Perbedaan pendapat dan kepentingan
masyarakat Indonesia kalau begitu jelaslah sebagai sebuah fitrah tak
terbantahkan. Demokrasi adalah pusaka yang memungkinkan fitrah perbedaan tadi
tetap membuat kehidupan masyarakatnya dalam sebuah wilayah keadaan yang disebut
“harmonis”. Sementara keharmonisan mensyaratkan harus adanya toleransi, maka
demokrasi yang sesungguhnya hanya bisa terwujud jika konsep toleransi sudah
menjadi nilai dalam laku masyarakatnya. Sebaliknya, untuk menghancurkan
keharmonisannya, cukup dengan didik beberapa orang untuk memprovokasi yang lain
agar bertindak intoleran.
Sementara
tanpa perdamaiaan tidak akan pernah ada pembangunan produktif yang menghasilkan
kesejahteraan. Akhirnya kita tahu bagaimana cara paling tepat memiskinkan suatu
bangsa, yaitu dengan melakukan provokasi agar menghasilkan orang dengan laku
intoleran. Dus, perdamaian tidak akan terwujud, kesejahteraan tinggal mitos dan
tinggal menjadi sebuah kisah keagungan cita-cita masa lalu. Multikulturalisme
yang dulu dianggap sebagai kekayaan dan dibangga-banggakan akan menjadi abu
dari api peperangan saudara, perang nyinyir makna yang memperebutkan tafsir
tunggal kebenaran. Lantas siapa dan bagaimana gerakan intoleran itu tumbuh di
Indonesia?
Fundamental
Puritan dan Radikal
Provokasi
belakangan menjadi alat pemecah belah yang efektif seiring keengganan
masyarakat kita berpikir secara mendalam dan panjang. Budaya instan masyarakat
kita membuat mereka mudah menerima dan mempercayai informasi tanpa sempat
verifikasi. Bencana disharmonisasi sekurang-kurangnya karena budaya instan
masyarakat yang disambut gerakan responsif beberapa kelompok keagamaan. Respon
itu berbentuk gerakan melek media untuk belajar agama. Maka muncullah web, blog,
akun medsos sampai kanal di youtube yang khusus berisi kajian keagamaan.
Sayangnya kajian seperti ini lebih sering diproduksi oleh kelompok keagamaan
yang punya indikasi sering terlibat kasus-kasus intoleran. Kelompok tersebut
adalah kelompok-kelompok yang termasuk ke dalam fundamentalis puritan dan
fundamentalis radikal.
Kelompok
pertama, fundamentalis puritan, sebuah gerakan yang mengusung pemurnian agama.
Menyerukan agar masyarakat Islam kembali menempatkan segala perilakunya
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Gerakan ini punya kecenderungan tinggi untuk
menolak akulturasi budaya. Kelompok kedua lebih ekstrem, fundamentalis radikal,
selain menginginkan hal yang sama dengan kelompok pertama tadi, mereka juga
ingin menggantikan dasar bernegara kita (UUD 1945 dan Pancasila) dengan Syariat
Islam. Dua kelompok ini di Indonesia mulai menyuarakan gagasannya setelah era
reformasi, sekaligus memberikan sumbangsih terhadap terbentuknya paradoks
demokrasi. Meski sudah ada di Indonesia sejak lama, kemunculan mereka berhasil
ditekan habis-habisan saat era orde baru. Sementara dalam skala global,
kemunculan dan kebangkitan gerakan kelompok ini juga berbarengan dengan tragedi
WTC 2001 (Balitbang Kemenag Semarang, 2016).
Beberapa
kelompok tersebut masih terus mengembangkan ajaran dan ideologinya melalui
berbagai media dan cara; salah satunya melalui penerbitan bahan bacaan seperti
buku, buletin serta selebaran. Sementara melalui media pendidikan formal mereka
juga menyematkan ideologinya lewat Lembar Kerja Siswa, atau dijejalkan dalam
beberapa sub bab di buku mata pelajaran. Pendidikan non formal juga memberikan
sumbangsih signifikan bagi perkembangan ideologi ini lewat berbagai yayasan
pendidikan mereka, terutama pondok-pondok mereka, terlebih pelajaran agama
tersebut ditransmisikan lewat media pengajian-pengajian, atau melalui
diskusi-diskusi seperti daurah dan liqa. Maka tidak mengherankan
jika mereka berhasil membangun jaringan dan mengembangkan gerakan di berbagai
daerah.
Beberapa
kelompok keagamaan yang masuk dalam kategori fundamentalis radikal ini,
menginginkan adanya penegakan Syari’ah Islam sebagai hukum positif negara
secara tegas di ruang-ruang sosial politik yang terbuka. Tujuan mereka jelas
ingin menegakkan Negara Islam. Hal ini tentu dapat dianggap sebagai salah satu
indikasi dari sikap mengabaikan eksistensi kebangsaan dan eksistensi Indonesia
sebagai sebuah negara bangsa. Multikulturalisme (keragaman agama, sistem
kepercayaan, budaya, suku, bahasa dll) yang sudah hadir mendahului masuknya
Islam ke Indonesia (Nusantara) tentu akan tersinggung secara politis dan
sosiologis. Keharmonisan yang selama ini dihasilkan dari peranan Islam
moderat—NU dan Muhammadiyyah—akan terancam oleh semakin meluas dan mendalamnya
pengaruh kelompok fundamentalis.
Relasi
Agama dan Negara
Kekerasan
atas nama agama yang meresahkan kehidupan masyarakat di ruang publik sudah ada
sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Akar geneologi kekerasan ini
tentu menunjukan fakta bahwa fenomena kekerasan atas nama agama memang sudah
menyejarah. Perilaku keagamaan yang penuh kekerasan seperti ini bisa kita lihat
lebih banyak dalam al-Khawarij fi al’Ashr al-Umawy, Naif Ma’ruf (1997).
Gerakan Khawarij selalu diasosiasikan dengan gerakan keagamaan yang menggunakan
kekerasan. Sementara beberapa ulama menggunakan Hadis yang lahir setelah Nabi
Muhammad bertemu orang Tamim dan dituduh jika tidak pernah berbuat adil,
kemudian Nabi Muhammad berkata, “Biarkan dia berkata seperti itu, dan pada
suatu saat nanti akan lahir sebuah golongan yang keluar dari substansi agama,
sebagaimana anak panah keluar dari busurnya,” (Zuhairi Misrawi, 2010).
Pertikaian yang sudah menyejarah ini harusnya bisa dijadikan postulat bahwa
peperangan dan kekerasan atas nama agama sulit dihindari, namun bisa direduksi
baik secara kuantitas atau pun kualitasnya.
Bagaimana
relasi toleransi di tengah negara yang masyarakatnya majemuk dan menggunakan
sistem demokrasi, sementara kelompok intoleran juga semakin banyak muncul
seperti jamur di bulan Desember? Belajar dari sejarah, kita bisa melihat
bagaimana keikutsertaan kuasa politik sangat mempengaruhi tingkat toleransi
masyarakat. Ada Piagam Madinah yang diprakarsai Nabi Muhammad SAW yang mengatur
relasi antar kelompok, penyatuan kabilah (Sahiron : 2016), Dekret tolorensi
Raja Henri IV Prancis yang mengatur relasi Katolik-Protestan, bahkan di abad
XVI-XVII kerajaan yang mempunyai sistem kekuasaan absolut seperti Roma atau
Persia pun ikut mengambil upaya membangun toleransi di tengah masyarakatnya.
Menurut penulis, hal tersebut karena elite politik sadar, toleransi adalah
modal awal dan dasar menciptakan perdamaian.
Hal
ini menjadikan kontrak sosial mempunyai urgensi untuk didiskusikan ulang. Dalam
suatu wilayah alamiahnya manusia bebas melakukan apa saja, sementara watak
alamiah manusia untuk terus mencari keunggulannya membuat manusia melakukan
dominasi terhadap manusia lainnya. Ancaman dominasi tersebut membuat seseorang
bisa terancam keselamatan dan terganggu kesejahteraannya, sehingga dalam
keadaan di wilayah alamiah ini manusia begitu ketakutan, Hobbes menyebutnya
sebagai “man mutual fear”. Selanjutnya Hobbes menerangkan bahwa tujuan
terciptanya pemerintahan sipil adalah mengatasi rasa takut rakyat yang
sebelumnya sudah memutuskan untuk membuat suatu kontrak sosial. Tugas
pemerintah sebagai institusi politik adalah menjaga keamanan individual
rakyatnya. Pemerintah harus mampu menjadi institusi yang bertugas menjaga
ketertiban dan menciptakan usaha yang diarahkan untuk mengantisipasi
terulangnya kejahatan di masa depan. Maka tugas negara adalah mencegah
kekacauan yang secara probabilitas terjadi akibat salah satu anggota masyarakat
atau kelompok mendominasi anggota atau kelompok lainnya (Robertus Robert,
2014).
Kelompok
fundamentalis puritan maupun radikal semua mengidentifikasikan dirinya dengan
cermin teologis. Mereka berkaca pada cermin teologis kemudian menentukan siapa
mereka dan harus berbuat apa. Misal, keyakinan teologis mereka yang ingin
mendirikan Negara Islam. Keyakinan ini akan membuat mereka menentukan siapa
kawan siapa lawan. Penolakan konsep nilai-nilai kebangsaan—UUD 1945, Pancasila,
NKRI, Bhineka Tunggal Ika—tentunya juga didasari kuat oleh pemahaman mereka di
ranah teologis ini. Maka untuk mereduksi ekses negatif dari pemahaman-pemahaman
seperti itu harusnya ada dialog yang dilandasi teologi perdamaian. Kondisi
perbedaan kelompok-kelompok ini harus diantisipasi oleh pemerintah dengan
membuat forum publik yang besar. Menurut John Rawls dalam buku Teori Keadilan-nya,
ia yakin jika forum seperti itu akan mendistorsi segala klaim kelompok tentang
kebenaran akan sesuatu, sehingga alasan pembangkangan atau potensi makar mereka
akan melemah.
Strategi
Melawan Fundamentalisme
Hadirnya
negara untuk menjaga multikulturalisme haruslah diawali dengan keberanian dan
sikap tegas terhadap kelompok fundamentalis puritan, terlebih kepada
fundamentalis radikal. Negara harus hadir dalam dua gerakan. Pertama, gerakan
yang mampu membabat akar permasalahan yang mengakibatkan disintegrasi keharmonisan
bangsa ini. Langkah kedua, haruslah bermuara ke pencegahan, bagaimana gerakan
fundamentalis tidak akan menemukan titik celah untuk berkembang setelah
dibubarkan. Langkah kedua ini penting agar tidak ada spiral pola penghilangan
fundamentalisme yang muncul-tenggelam-muncul. Sementara langkah-langkah ini diklasifikasikan
menjadi dua langkah bukan untuk dipisahkan tata pelaksanaannya, melainkan harus
dilakukan di waktu yang bersamaan.
Langkah
pertama, negara harus bekerja melalui kerjasama multi lembaganya untuk mampu
mendeteksi dan memetakan kelompok mana saja yang termasuk dalam fundamentalisme
radikal. Lembaga seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Perguruan Tinggi, Ormas Keagamaan
yang sudah terbukti sumbangsihnya untuk bangsa dan beraliran moderat (NU dan
Muhammadiyyah), sampai berbagai lembaga yang bergerak di bidang
penelitian—sehingga data pengklasifikasian ini berat bobot timbangan
akademisnya dibanding bobot politisnya. Kelompok yang berhasil diklasifikasikan
tersebut haruslah segera dibubarkan. Membiarkan mereka berkeliaran sama halnya
dengan menunggu hancurnya keharmonisan bangsa. Gerakan-gerakan intoleran harus
dihentikan dalam rangka mencegah kekacauan—yang dalam konteks kontrak
sosial—yang diakibatkan dominasi salah satu kelompok terhadap kelompok lain
(dominasi tafsir truth claim yang absolut).
Langkah
kedua adalah pencegahan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa budaya
instan mempengaruhi masyarakat dalam bentuk bagaimana cara mereka belajar
agama, maka dari situlah kita harus mengawalinya. Sekali lagi, sama dengan
langkah pertama, negara juga harus melakukan kerjasama dengan multi lembaga.
Sementara langkah taktisnya adalah revitalisasi organisasi keagamaan yang
beraliran moderat dalam bidang informasi. Peningkatan kuantitas dan kualitas informasi
ajaran keagamaan yang berpaham multikulturalisme, mencerminkan Islam ramah,
nilai-nilai kebangsaan serta berbagai nilai lainnya harus dikemas dalam web,
blog, aplikasi smartphone, bahkan media mainstream.
Keinginan
untuk mendirikan negara berdasarkan pemurnian ajaran agama Islam, tentu
terpengaruh gerakan Pan Islamisme yang sudah menjadi semangat dan ideologi di
ranah trans-nasional. Samir Amin, dalam Dialog Agama dan Negara, menyampaikan
bahwa agama tidak mungkin bisa direduksi ke dalam ideologi yang dikhususkan
untuk manusia dan nasib mereka di akhirat. Agama adalah fenomena sosial, dan
karenanya ia juga memiliki bagian tersendiri dari konsepsi kemasyarakatan
utopis. Sebagaimana muatan dakwah agama juga tidak tereduksi dalam dogma yang
berkarakter kosmologis dalam beberapa aspeknya.
Memang
ketaatan seorang hamba kepada Tuhan-nya terkadang membuat manusia lupa akan
hakikat sebuah agama, agama yang menyampaikan pesan perdamaian dan keteraturan
seolah tertutup oleh truth claim yang telah tertanam dalam dirinya. Truth
claim yang tidak mendasar menjadikan manusia memiliki pemikiran yang dangkal dan keliru,
sehingga agama “seolah” menjadi pemicu konflik. Klaim kebenaran mutlak suatu
agama, biasanya disebabkan karena pemeluk agama bersangkutan yakin bahwa kitab
suci mereka memang mengajarkan demikian (Charless Kimball, 2013). Sehingga teks
kitab suci dapat ditafsiri sebagai alat legitimasi kepentingan penafsirnya.
Faktanya dalam keberagamaan pun tidak sedikit orang salah menafsirkan teks
kitab suci yang berujung perbedaan faham antar penganut, sehingga mereka akan
membentuk komunitas baru dan menjadi eksklusif. Akhirnya mereka mengambil jarak
dan memisahkan diri terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda. Akibatnya
akan timbul gerakan yang menunjukan reaksi dalam suatu cara yang membenarkan
penggunaan istilah “minha wa minhum”.
Meminjam
terminologi Lindbeck, agama dianggap sebagai sabda eksternal (verbum externum)
yang tidak mengekspresikan penghayatan pribadi atau pun pengalaman personal akan
Allah. Konsekuensinya, kaum beragama harus menjadi pemilik dan penjaga ajaran
agama sebagai kebijaksanaan yang diyakini dan dihidupi. Padahal identitas
religiusitas harusnya ditentukan dengan bagaimana ajaran suci mampu menjadi
iman personal dalam hidup seseorang. Karena yang menyelamatkan bukanlah ajaran
suci yang obyektif, melainkan ajaran suci yang dihayati dan dihidupi. Dalam
penghayatan penulis yang lebih ekstrem, bisa dikatakan bahwa orang yang hanya
menghafal Al-Qur’an secara total—terlebih pemahaman keagamaannya secara
tekstual—masih kalah mulia dengan orang yang benar-benar mampu melakukan satu
ayat Al-Qur’an dalam kehidupan nyatanya.
Selama
masih ada kelompok fundamentalisme, rakyat kita tidak akan pernah merasakan
kesejahteraan. Karena selama mereka masih ada, gerakan intoleran berbasis agama
akan terus muncul. Padahal, kita tahu dalam beberapa kasus, gerakan massa yang
besar bisa saja terprovokasi untuk latah meniru gerakan intoleran kelompok
fundamentalis meski alasan kenapa melakukan aksi tersebut tidak punya landasan
keagamaan yang cukup kuat. Bisa saja kesenjangan sosial yang sebenarnya menjadi
faktor utama beberapa masyarakat latah mengikuti gerakan intoleran, sementara
agama hanya menjadi trigger (pemicu). Dalam beberapa kasus unik seperti
ini, pemerintah akan terus dipusingkan untuk melakukan stabilisasi keadaan
sosial politik negara. Sementara energi yang seharusnya difokuskan untuk
menyejahterakan rakyat (mengurangi kesenjangan sosial) akan habis terkuras
untuk konsolidasi politik. Akhirnya akan ada akumulasi kekecewaan rakyat yang
ditujukan kepada negara akibat gagal tercapainya kesejahteraan yang mereka
citakan. Fenomena ini bagi penulis bisa dinamakan sebagai spiral kemubadziran
energi. Memang syarat untuk menyejahterakan rakyat itu banyak dan kompleks,
namun salah satu syarat yang harus diprioritaskan adalah memerangi gerakan dan
pemikiran kelompok-kelompok fundamentalisme, terlebih fundamentalisme radikal.
AhmadMuqsith (Pengurus PC PMII Kota Semarang dan Peneliti Senior LPM IDEA)
COMMENTS