Pertemuan berbagai hal sepertinya sudah tak terhindarkan, atau sangat sulit dihindari di era yang dicirikan dengan perkembangan teknologi...
Pertemuan
berbagai hal sepertinya sudah tak terhindarkan, atau sangat sulit dihindari di
era yang dicirikan dengan perkembangan teknologi ke taraf ‘ajaib’, khususnya teknologi
informasi. Tidak hanya berhenti dipertemuan, banyak hal yang akhirnya membaur,
bercampur, saling tumpang tindih satu sama lain.
Konsekuensinya,
melihat dan membincang tentang suatu hal, akan sangat sulit jika tanpa
mengaitkan dengan hal lain, kecuali memang sedari awal tidak ingin memperoleh
penglihatan dan perbincangan yang komprehensif, atau minimal mendekati
komprehensif.
Misalnya
ingin memperbincangkan agama di era informasi seperti ini, tentu tidak bisa
dilepaskan dari politik, media, ekonomi dan sebagainya. Ustad-ustad yang banyak
bermunculan di TV misalnya, adalah contoh dari pada pertemuan agama dan media,
atau perusahaan media. Contoh lain adalah seperti kita melihat media yang
kadang memberitakan informasi yang sebenarnya tidak terlalu penting, atau
bahkan sebenarnya tidak penting. Dalam kasus seperti ini kita harus sadar,
bahwa media dewasa ini adalah hasil dari pertemuan antara jurnalismedan
perusahaan.
Menurut
Yasraf Amir Piliang, pertemuan berbagai hal di atas memiliki konsekuensi saling
mempengaruhi dan mengalahkan (Piliang: 2004). Misalnya ketika jurnalisme bertemu
dengan perusahaan, lalu yang ke dua ini lebih mendominasi, maka tak
mengherankan jika informasi-informasi yang diproduksi tidak mencerminkan
pengabdian masyarakat, sebagaimana semangat jurnalisme.
Setiap
sesuatu memiliki logikanya sendiri. Maka ketika sesuatu hal bertemu dengan hal
lain, maka logika yang lebih mendominasi, yang akan mengendalikan. Oleh karena
itu, dalam memandang sesuatu haruslah jeli, dan berusaha mencermati logika apa
yang beroperasi. Maka, tidak menutup kemungkinan, walaupun secara lahir tampak
seperti agama, belum tentu logika agama yang beroperasi. Bisa jadi, logika
politik atau media yang beroperasi, karena pertemuan keduanya dengan agama.
Organisasi
Mahasiswa dan Budaya Populer
Fenomena
pertemuan berbagai hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, tampaknya sekarang
juga dialami oleh mahasiswa dan organisasinya. Organisasi mahasiswa dan juga
mahasiswa sebagai individual person bertemu dengan budaya populer.
Akhir-akhir
ini, atau sejak banyak mahasiswa punya akun media sosial, hampir setiap
aktivitas, entah yang bersifat pribadi atau pun organisasi mereka publikasi ke
ruang publik, yang dalam hal ini diwakili oleh media sosial. Alih-alih terkait
dialektika, proses, atau catatan kritis tentang kegiatan keorganisasian yang
dipublikasi, mereka justru lebih banyak publikasi foto dan paling banter foto
bersama beserta nama kegiatan.
Hal
di atas banyak terjadi diberbagai macam organisasi mahasiswa, bahkan organisasi
mahasiswa pergerakan. Banyak kegiatan, yang hanya menghasilkan jejak foto,
bukan catatan kritis. Bahkan, hanya sekedar membuat pressrelease, atau
berita untuk dikirimkan ke media pun seakan mereka tidak sempat—dengan tanpa
mengatakan mahasiswa aktivis sekarangtidak punya kemampuan itu. Bagi mereka, sepertinya,
sudah lebih dari cukup, dengan foto dan menandai teman di media sosial.
Penulis
juga kemarin sempat terkejut, ketika mendapat beberapa chat lewat WhatsAppdari
beberapa mahasiswa aktivis supaya mendukung salah satu peserta kontes pemilihan
putri kampus dalam peringatan hari Kartini, yang sebenarnya kegiatan
tersebut—menurut pengetahuan penulis—tidak ada hubungannya dengan perubahan
sosial masyarakat, sebagaimanadulu diperjuangkan oleh R. A. Kartini. Lalu,
kemarin ada juga yang tak kalah aneh—tentu juga dalam pandangan
penulis—organisasi mahasiswa yang secara dilihat dari namanya, sudah tampak
jelas fokus di kajian keilmuan yang mendalam, mengadakan acara semacam lomba
foto, yang tidak dielaborasi dengan fokus kajiannya.
Fenomena
di atas adalah salah satu atau dua contoh, yang bagi penulis, salah satunya
dilatarbelakangi oleh pertemuan organisasi mahasiswa dengan budaya populer,
yang sepertinya, walaupun secara lahir tampak sebagai aktivitas mahasiswa dan
organisasinya, namun logika budaya populer itu yang beroperasi, atau itu adalah
bentuk logika baru mahasiswa dan organisasinya di era millenial?
Organisasi
Mahasiswa Harus Berubah?
Beberapa
orang mengatakan, bahwa organisasi mahasiswa, atau aktivis mahasiswa harus
berubah, karena perubahan zaman menuntut hal itu. Tentu saran ini sangat
relevan. Dengan zaman yang berubah, sudah tentu perubahan cara pandang sudah
niscaya harus berubah, jika ingin survive. Namun, perubahan seperti apa
yang sebenarnya dimaksud atau yang pas?
Jika
yang dimaksud adalah perubahan seperti di atas, dari dokumentasi kegiatan yang
berupa catatan kritis kegiatan, penulisan pressrelease, menjadi
publikasi foto kegiatan yang sepi catatan, atau perubahan kegiatan kajian dari
organisasi kajian menjadi kegiatan populer tanpa ada elaborasi dengan kajian,
maka tampaknya ini adalah perubahan yang kurang tepat.
Berbeda
ketika yang dimaksud perubahan di atas adalah bahwa organisasi mahasiswa dan
tentunya mahasiswa aktivis bisa memanfaatkan hal-hal baru dari kemajuan
teknologi, seperti tidak hanya membuat catatan kegiatan, tapi juga bisa disertai
dengan visualisasi data, memanfaatkan media sosial tidak hanya sebagai lomba
unggah foto kegiatan tapi juga disertai catatan atau proses dialektika kegiatan.
Tentu perubahan-perubahan semacam itu sangat relevan.
Maka,
pertanyaannya, bisakahketika mahasiswa dan organisasinya
bertemu dengan budaya populer, yang terjadi bukan logika budaya populer yang
beroperasi, tapi logika organisasi mahasiswa yang beroperasi, dengan tidak
apatis terhadap budaya populer. Dalam artian bisa mengelola budaya populer
dengan semangat gerakan, yang akhirnya berdampak pada peningkatan skill
dan pemberdayaan masyarakat ke arah yang lebih baik. Begitu bukan?
Departemen Pers dan Teknologi Informasi PC PMII Kota
Semarang
COMMENTS