Bukankah yang membedakan proses-proses politik (berorganisasi) di PMII adalah berkomunikasi dan berwacana (pengetahuan) yang nantinya bermuara pada gerakan sosial yang maksimal?
Sumber gambar: https://www.lynda.com |
Kewajiban apa yang pertama harus dilakukan departemen pengaderan? Begitulah pertanyaan terhadap diri penulis ketika ditunjuk menjadi Departemen Pengaderan PMII di tingkat rayon beberapa tahun silam.
Pengaderan di tingkat rayon merupakan tingkat pertama dalam jenjang pengaderan dalam organisasi yang setia menjadikan Aswaja sebagai manhaj pergerakannya. Departemen Pengaderan di tingkat rayon memiliki tugas berbeda dengan Departemen Pengaderan di level komisariat, sampai seterusnya.
Jelas, tugas pertama Departemen Pengaderan tingkat rayon adalah meneruskan mengajak mahasiswa baru bergabung dengan PMII. Tujuannya sederhana, namun rumit atau tidak mudah praktiknya: mewariskan semangat gerakan perlawanan atas ketidakadilan, yang di dasarkan atas nilai-nilai dasar pergerakan, yang tiga itu.
Setelah berhasil mengajak mahasiswa baru bergabung, Departemen Pengaderan dihadapkan dengan berbagai hal. Dalam mendampingi, mendidik, mengader ternyata tidak serta merta membuat program revolusioner, yang bisa meningkatkan kapasitas anggota baru. Kadang justru yang pertama kali dihadapi setelah MAPABA, adalah bagaimana menguatkan bangunan emosional anggota baru, biar tetap bertahan di PMII. Kadang, hal ini pula yang membuat PMII, yang notabenenya sebagai organisasi pergerakan, menjadi sekedar kerumunan.
Berorganisasi dengan Pengetahuan
Penulis dulu sering mengajukan pertanyaan kepada calon ketua angkatan di tingkat rayon: kelak, mana yang akan kamu dahulukan, ketika dihadapkan dengan dua pilihan, memimpin dengan pengetahuan atau perasaan?Kebanyakan mereka menjawab akan memadukan keduanya. Tentu jawaban yang menarik. Tapi penulis berpikir, bagaimana caranya? Mungkinkah?
Dari pengalaman penulis di PMII, masih banyak anggota, maupun kader yang berorganisasi tidak dengan pengetahuan, namun dengan perasaan. Tentu jika hal itu terjadi satu bulan-dua bulan, katakanlah sampai adanya Pelatihan Kader Dasar (PKD), itu wajar. Namun kadang hal semacam itu masih terjadi sampai jadi pengurus.
Penulis berkesimpulan, jika sampai jadi pengurus, masih berorganisasi dengan perasaan, maka inilah salah satu tanda kegagalan Departemen Pengaderan di tingkat rayon.
Apakah berorganisasi dengan pengetahuan lantas menghilangkan perasan? Tentu tidak.
Ada yang menarik dari pemikiran Murtadha Muttahari, tentang perbedaan perasaan dunia dan pengetahuan dunia, yang penulis anggap relevan disampaikan dalam konteks ini.
Menurutnya, perasaan bukanlah pengetahuan. Pengetahuan adalah khas manusia. Binatang dan manusia sama-sama merasakan alam, namun hanya manusia yang mampu mengetahui dan menerangkannya.
Bisa jadi yang penulis maksud dengan perasaan berbeda dengan yang dimaksudkannya. Namun penulis ketika membacanya memperoleh inspirasi, bahwa perasaan, walau berbeda dengan pengetahuan, namun tidak bertentangan. Pengetahuan adalah mode yang lebih tinggi dari perasaan. Pengetahuan adalah kemampuan menjelaskan perasaan atau apa yang dirasakan.
Tugas Departemen Pengaderan tingkat rayon adalah membantu transformasi anggota baru, dari berorganisasi dengan perasaan menuju ke tingkat yang lebih tinggi: berorganisasi dengan pengetahuan.
Ketika kader PMII sudah berorganisasi dengan pengetahuan, segala permasalahan, entah yang bersifat organisasi atau antar individu kader, akan terjelaskan, sehingga bisa terselesaikan.
Berorganisasi yang Komunikatif
Berorganisasi dengan pengetahuan juga pada akhirnya akan menciptakan keberanian mengkomunikasikan berbagai gagasan, tanpa terbebani rasa tidak enak ketika berbeda. Kelahiran-kelahiran gagasan brilian, dan eksekusi yang sistematis dan terstruktur pun menjadi mungkin terjadi.Kemampuan komunikasi yang baik antar anggota organisasi selanjutnya akan mendorong kepada cara pandang yang tak sempit, dan mampu melihat dari kaca mata orang lain. Ini tentu sangat baik bagi perkembangan kader, apalagi juga sudah berada di level komisariat, cabang dan seterusnya, yang memungkinkan bertemu dengan kader-kader lain, yang memiliki gagasan dan wacana yang bisa berbeda. Berorganisasi dengan komunikatif, maka PMII ku akan melebur dengan PMII Anda dan memunculkan PMII Kita, secara komunikatif dan tanpa keterpaksaan.
Selain itu, Ketika kader sudah berada di tingkat komisariat, cabang dan seterusnya, proses-proses politik antar rayon, komisariat, cabang, sampai ke tingkat pusat tentu tak bisa dihindarkan. Dengan berorganisasi secara komunikatif sejak awal, proses-proses politik tersebut akan dimaknai bukan sekedar perebutan kekuasaan, melainkan berkomunikasi dan berwacana.
Memahami politik sebagai berkomunikasi dan berwacana adalah pandangan Habermas, yang penulis kutip dari Sindhunata. Dengan pengertian politik seperti ini, kemungkinan lahir pemimpin yang benar-benar punya kapasitas di berbagai level, mulai rayon sampai pusat, sangat besar. Bukankah yang membedakan proses-proses politik di PMII adalah berkomunikasi dan berwacana yang nantinya bermuara pada gerakan sosial yang maksimal, bukan perebutan dan pembagian kekuasaan seperti yang terjadi di negeri amplop?
Bukankah salah satu pilar dari Aswaja adalah prinsip bermusyawarah, yang bahannya adalah komunikasi dan wacana?
Zaimuddin Ahya
Departemen Pengembangan Pers dan Informasi-Teknologi (DPPIT)
PC. PMII Kota Semarang 2016-2017
Tertarik dengan artikel "Berorganisasi dengan Pengetahuan" ini?
Klik link ini untuk melihat artikel Zaimuddin Ahya lainnya.
COMMENTS