Eine grosse epoche hat das Jahrhundert geboren, aberde grosse Moment fondet ein kleines Geschlcht. ( Suatu masa besar dilahirkan abad, te...
Eine grosse epoche hat das Jahrhundert geboren, aberde grosse Moment fondet ein kleines Geschlcht. (Suatu masa besar dilahirkan abad, tetapi masa besar itu menemui manusia kerdil). Pujangga Jerman, Johann Fristoph Friedrich von Schiller (1759-1805).
Indonesia dianugerahi seribu satu kehidupan yang membuat warganya
harus survive menjalankan tradisi yang berlandaskan pada cinta. Kemudian
diteruskan kepada penghayatan bernama wilayah geografi sebagai tanggung jawab
makhluk yang dikata homo humanus, homo societas, dan homo yang
peduli akan nilai yang telah ditata dan ditanamkam semenjak kita lahir ke bumi
Nusantara.
Ketika itu, kita mencari jati diri sebagai bangsa yang berdikari,
mandiri, dan berdaulat secara kaffah. Orator-orator politik “menyerbu”
pendengaran masyarakat dengan janji bahwa dirinya kelak menjadi manusia yang
dikaruniai kewajiban memelihara ribuan rakyat yang akan disejahterakan. Janji
peningkatan taraf hidup layak pun menjadi jualan yang ampuh untuk mengurangi
kemiskinan dan pengangguran yang riwayatnya menjadi “kambing hitam” setiap
terjadi chaos di tingkat grass root masyarakat kita.
Perlu kita amini bersama argumen Radhar Panca Dahana dalam buku ini
tentang parlemen kita yang terjerembab oleh kepentingan semata –walau
sebenarnya rumus politik adalah kepentingan- yang berujung pada realita wakil
rakyat yang patuh pada pemodal bukan pada rakyat –seperti yang digaungkan oleh
defines demokrasi- tanpa pandang suku, ras, agama, dan golongan.
Dikatakan kapitalisme mendorong pemerintah dan parlemen menjadi “public master” bukan lagi “public servant” bahkan menjadi “public monster” terhadap “public sector dan “public services” . Terlepas pandangan Galbraith yang mencoba mengetengahkan padam budaya “ekonomi cukup” -baca menolak affluence- yaitu ekonominya manusia yang tidak materialistik dan tidak hedonistic yang tidak terjebak oleh hidup konsumtif semata-semata. Itulah barangkali ia maksudkan sebagai kehidupan ekonominya orang-orang prasaja yang kebersahajaanya dilandasi misi-misi kultural yang secara etik dan estetik terpenuhi dan tidak perlu lebih. Hidup prasaja pernah ditetapkan dalam GBHN kita. (hlm. xx)
Selain budaya parlemen kita yang tunduk terhadap pemodal, buku ini
juga mencoba mengetengahkan kesadaran bangsa ini tentang kapitalisme yang
semakin hari menggerogoti setiap individu-individu nusantara. Pandangan ortodoksi masyarakat terhadap
ekonomi berupa daulat modal dan daulat pasar sebagai acuan yang
menjadikan kolektivitas masyarakat berubah menjadi persaingan modal yang
destruktif. Seketika itu pameo homo humanus bertransformasi menjadi homo
economicus yang berimbas pada rakyat jelata dan orang miskin papa memimpikan “daulat rakyat” yang akan mengankat
dirinya bukan saja setara di mata hukum, tapi juga ekonomi serta kemudahan
pelayanan pemerintah.
Budaya ekonomi culas yang mementingkan orang-orang yang memiliki
modal. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin pun tak terelakan. Jaraknya
amat jauh sehingga sirkuit modal dimainkan oleh si kaya yang memiskinkan si
miskin secara struktural dan berkelanjutan. Lantas, apa gunanya kita bekerja
saban hari tenaga diperas untuk melanggengkan industri berdiri di bumi ini ?
Bukankah, karakter manusia-manusia Indonesia seperti dipaparkan oleh Mochtar Lubis,
Bangsa ini memiliki karakter yang tidak achievement oriented tetapi status oriented, berorientasi pada masa lalu, menggantungkan diri pada nasib konformis, takut menerobos pakem, berorientasi pada atasan, meremehkan mutu dan suka nerabas (tidak teliti dan sistematik, tidak peraya pada diri sendiri, tidak berdisiplin, suka mengabaikan tanggung jawab, munafik, feodal, percaya pada takhayul, berwatak lemah (terutama lemah terhadap uang), tidak hemat (boros), kurang ulet, terlalu fleksibel, hidup manja (santai), kurang inovatif, kurang waspada (gampang merasa aman), suka sok kuasa (kleptorat, haus kekuasaan, mencapuradukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, tidak zakelijk, kurang membedakan yang formal dan yang informal, mengemban sikap hidup miskin, berlagak ramah (friendly) padahal sebenarnya menghambal (servile, minderwaardig) berlagak wajar-diri (low profile) padahal sebenarnya adalah lemah (soft) (hlm. xvii)
Lantas mengapa kita bisa terjebak di sirkuit kapitalisme yang
mengubah kontur peradaban bahari-egalitarian- menjadi kontinental-homo
economicus. Adab bahari mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi dan
tidak memperkaya diri dengan mengeksploitasi alam besar-besaran. Ajaran untuk
tidak menimbun kekayaan dengan alasan anak cucu kita lah yang akan memetik buah
dari perilaku nenek moyangnya menjaga segenap kekayaan hayatinya. Namun, adab
stok tiba-tiba “ingin” mengubah pola keseimbangan yang telah kita upayakan. Menumpuk
kekayaan untuk mengubah perilaku pasar menjadi monopoli. Tingkah lakunya berangkat
dari menambang habis sumber daya alam tanpa peduli alam sekitar dan generasi
masa depan. Ya, adab bahari kita sedang ditarungkan dengan adab stok.
Adab stok muncul dari kapitalisme yang amat predatorik. Pebisnis
berwajah Leviathan serta bala imperialis Herrenvolk mengutarakan pada dunia
bahwa adab stok sebuah ortodoksi “mazhab ekonomi” yang membawa peradaban
mondial yang berubah wajah komidi global. Sampai di sini kapitalisme dengan laissez
faire-nya yang mengagungkan bahwa pasarnya Adam Smith “The Invisible Hand”
(tangan-tangan ajaib) telah gagal secara praksis karena menjerumuskan
masyarakat dunia untuk mengamini bahwa ketimpangan struktural harus terjadi
sebagai konsekuensi sebuah pasar. Semangat ini jelas bertentangan dengan
ekonomi kita yang dilandasi oleh kebudayaan. Kebebasan pasar yang dijadikan
alibi untuk memonopoli persaingan. Asa perorangan dengan miliaran dolar
mencabik-cabik asas bersama. Radhar Panca Dahana beragumen kapitalisme yang
berkuasa atas daulat pasar harus disaingi oleh daulat rakyat sebagaimana
dipaparkan
Mengunggulkan daulat rakyat dan meminggirkan daulat pasar artinya dalam pembangunan yang dibangun adalah rayat bukan modal pembanguna ekonomi perlu diposisikan sebagai derivate dari pembangunan rakyat bangsa dan negara. (hlm. 78)
Melawan (dengan) Ekonomi Cukup
Lantas, setelah kebobrokan kapitalisme yang saban hari kita
telurkan dalam diskusi dari ahli ekonomi hingga politk, haruskan di ubah
orientasinya ? Jawaban RPD, Ya.
Ekonomi cukup adalah sebuah
sistem ekonomi yang nilai-nilai fundamentalnya mengacu pada nilai-nilai luhur
dan mulia-ekonomi berbudaya-. Mempertahankan warisan ekonomi yang dilandasi
budaya. Dimana manusia-manusianya menjalankan laku ekonominya untuk berusaha
secara terbuka seluas-luasnya. Menihilkan imperialisasi kekayaan untuk diri
sendiri atau sekelompok orang. Pameo “yang kaya makin kaya, yang miskin makin
miskin” menjadi buah karma penerapan ekonomi tanpa budaya.
Justru ekonomi tampa kebudayaan tak akan berarti apa-apa. Manusia dan pekerja Indonesia berada dalam situasi vacant, kosong dalam arti sepi dari kerja. Lalu ia memanfaatkannya untuk berpesta, bepergian, bersilaturahmi, ber-vacantie. Berlibur. Liburan manusia tradisi kita adalah masa di mana lingkunga tempat kita bekerja juga libur, entah itu peternak, peladang, petani, nelayan, dan seterusnya. (hlm. 177).
Memahami ekonomi cukup bukan sebagai bentuk tak mau bekerja keras
mendapatkan sesuatu yang kita butuhkan. RPD dalam buku ini mencontohkan salah
seorang tukang kopi Bang Uki, yang
merasa tenang duduk di depan rumah setiap pagi setelah pensiun dari tempat
dinasnya (red: warung kopi). Saat Bang Uki ditanya tentang rencana membuka kios
baru justru jawaban yang meluncur dari mulutnya menyiratkan makna ekonomi
cukup.
“Bang, tak mau buka kios baru lagi ?” Tanya sesorang
“Buat apa ?” jawab ketus dengan raut wajah kesal. “Anak gua udah es
te em, emak sama babe udah naik haji. Apalagi coba ?
Moralitas berdagang “Bang Uki” tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar perekonomian material-kapitalistik. Dimana prinsip laizzez faire atau fre will dan free market digunakan tidak hanya untuk memberi izin bahkan mendesak setiap orang untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin. Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran universal dan hampir taka ada daya tolak atau daya koreksinya. (hlm. 167)
Perilaku Bang Uki sebagai contoh nyata jelas bukan dia seorang yang
menerapkan hal demikian, terdapat ribuan orang yang menerapkan moralitas
ekonomi yang berkecukupan dengan melawan hidup lebih. Kenapa demikian ?
Budaya hidup lebih ini adalah satu cara memandang dan melakoni hidup dengan sebah nilai dasar dimana kita berhak bahkan wajib memperoleh atau berusaha mendapat lebih dari apa yang telah kita miliki. Budaya hidup “lebih” ini adalah satu cara memandang dan melakonn hidup dengan sebuah nilai dasar dimana kita berhak bahkan wajib memperoleh atau berusaha mendapat lebih dari apa yang telah kita miliki. Untuk itu kita seolah wajib untuk berjuang keras, berkompetisi, bahkan jika perlu menggunakan semua cara, antara lain dengan menyikut atau menghabisi para pesaing kita. (hlm. 157)
Seringkali kita menemui orang lain sudah membeli sedan keluaran
terbaru, kita melihat dengan mata terbelalak saya harus membeli lebih dari itu.
Rumput tetangga lebih hijau dari rumput diri sendiri, menggambarkan dengan
bahasa sederhana agar dekat kepada masyarakat kita. Iya, masyarakat kita
konsumtif. Kalaupun selama ini hal tersebut berjalan di alam bawah sadar.
Bangsa ini butuh mundur sejenak untuk maju secara ekonomi yang menjunjung
budaya.
Fadli Rais
Mahasiswa akhir berdomisili di Ngaliyan, Semarang.
Sehari-hari bekerja paruh waktu sebagai office
boy.
Informasi Buku
Penulis : Radhar Panca Dahana
Judul Buku : Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme
Penerbit : PT. Kompas Media Nusantara
ISBN : 987-979-709-916-9
Tahun Terbit : Maret, 2015.
Halaman : xxvi + 218 hlm.
COMMENTS