Mahbub Djunaidi merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis dan rekan bergaul yang kerap kali kocak alias lucu. Aset perjuangan Mahbub terhadap bangsa ini cukup banyak dan terglong besar.
Menarik sekali bagaimana Mahbub Djunaidi mengisahkan seorang bocah kecil putra dari seorang pegawai Mahkamah Tinggi Islam Negeri yang hidup ‘nomaden’ karena negerinya sedang kacau balau karena masa transisi kemerdekaan. Mahbub Djunaidi menjadikan bocah kecil belasan tahun sebagai tokoh utama dalam novel bergenre roman tersebut, yang oleh asumsi penulis tokoh tersebut merupakan Mahbub Djunaidi itu sendiri.
Ditengah lingkungan keluarga sederhana yang taat beragama, Mahbuh kecil ditempa begitu keras oleh ayahnya. Nalar kritis Mahbub kecil mulai terbentuk ketika dirinya sekeluarga pindah dari Jakarta ke Solo akibat chaos di ibukota Jakarta, ibukota dipindah ke Yogyakarta.
Bersamaan dengan itu Mahbub kecil sekeluarga pindah ke Solo. Disana Mahbub kecil mulai berfikir apa sebenarnya yang terjadi di Negerinya, pernah pada suatu kesempatan, forum kelas ketika gurunya menjelaskan pelajaran sejarah tentang perjuangan para laskar dan pemuda yang bersatu melawan penjajah, tiba-tiba Mahbub menyela:
Tapi kita kalah lagi pak, tadi saya membaca Koran, kita berunding dengan musuh di Linggarjati, apakah tidak takut kalau nanti kita dibohongi lagi seperti pangeran Diponegoro?
Sebuah pemikiran kritis dari seorang bocah kelas 4 SD yang tidak ditemui diantara bocah seusianya di mana kekhawatirannya ternyata menjadi sebuah kenyataan, kesepakatan gencatan senjata pada waktu itu dilanggar oleh Belanda.
Sekolah pada waktu itu tidak bisa inten seperti sekarang diakarenakan lemahnya stabilitas nasional akibatnya sering libur. Hal ini yang membuat Ayah Mahbub berinisiatif menyekolhakannya ke pondok pesantren. Meskipun akhirnya tidak jadi karena lagi-lagi karena alasan stabilitas keamanan nasional. Akhirnya Mahbub di ‘titipkan’ belajar kepada Kyai Dimyathi untuk belajar hingga dalam prosesnya dia bertemu ustad Amir yang meinjam buku-bukunya untuk Mahbub kecil sejalan dengan hobi membacanya. Hidupnya yang sering bergesekan langsung dengan serdadu Belanda (dan Jepang) membuat mentalnya terbentuk sedemikian kuat, dikisahkan suatu kesempatan dia bersama kawannya mencuri peti hasil jarahan para serdadu Belanda yang isinya bongkahan Al-Qur’an.
Mahbub, Sang Pejuang Ideologi
Novel ini merupakan pemenang Sayembara mengarang roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1978. Novel itu dicetak pertama kali oleh Pustaka Jaya dan dicetak ulang oleh Surah Sastra Nusantara dengan tambahan obituari berjudul “Mahbub Djunaidi Milik Kita Bersama,” karya Umar Said, asal Malang yang meninggal di Paris. Obituari ini sangat komprehensif sebagai deskripsi pribadi Mahbuh Djunaidi dan penialaian orang-orang terhadap Mahbub Djunaidi. Penulis sedikit menukil paparan Umar Said pada tahun 1976. Saat Mahbub dipenjara rezim Orde Baru karena prinsip hidupnya yang kuat dan sikap kritisnya pada waktu itu.
“Bagi saya pribadi, apa ang terjadi dalam diri Mahbub dalam tahun 1978 merupakan sesuatu yang memberikan tanda bahwa pada perkembangan yang penting dalam perjalanan sejarah hidupnya.” Dalam tahun itulah dia dimasukkan dalam penjara oleh Orde Baru, berita tentang ditahannya mahbub ini saya baca di Paris.
Tidak ada latar belakang yang pasti tentang mengapa ia dipenjara, yang jelas adanya suara-suara yang makin kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Suara kritis ini sudah mulai terdengar sejak Malari tahun 1974. Terlepas berbagai analisis tentang meletusnya peristiwa Malari (antara lain: rekayasa Ali Murtopo, pertentangan antara Jenderal Sumitro dengan kelompok Suharto yang lain, manipulasi kekuatan mahasiswa oleh Orde Baru, dll) tetapi jelaslah ada berbagai golongan mahasiswa yang mempertanyakan akan kebenaran sistem politik Orde Baru. korupsi yang makin kelihatan merajalela telah menjadi topik berbagai aksi mahasiswa waktu itu.
Apakah situasi yang demikian merupakan faktor sehingga Mahbub mengambil sikap menentang Orde Baru, yang mengakibatkan ia mengalami penahanan? Keliahatannya memang demikian. Fairuz menceritakan betapa gencarnya godaan-godaan yang harus dilawan oleh Mahbub waktu itu, ada yang mengajaknya ‘berbisnis’, mencetak dan distribusi kitab suci Al-Qur’an. Di kementerian agama banyak proyek-proyek ‘basah’ yang bisa mendatangkan uang dengan mudah, dan tentu cara ini menyalahi prosedur. Sebagian temannya ada yang sudah menempuh jalan itu dan menjadi kaya. Tetapi, mahbub tidak mau terseret dalam kegiatan haram semacam itu. Ia memilih jalan lain yang halal yang sesuai hati nuraninya. (hal. 168-169).
Setidaknya kita bisa merasakan godaan dahsyat politik praktis pada waktu itu, dan itu tidak merubah pendirian Mahbub Djunaidi. Hal-hal semacam ini yang harus dicontoh bagi kita semua, terutama para kader PMII hari ini. Tentang penilaian beberapa orang yang pernah bersinggungan dengan Mahbub Djunaidi penulis akan menukil pandangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang sosok Mahbub Djunaidi dalam sebuah pidato peringatan wafatnya Mahbub Djunaidi.
Mahbub Djunaidi merupakan tokoh gerakan, pejuang ideologi, jurnalis dan rekan bergaul yang kerap kali kocak alias lucu. Aset perjuangan Mahbub terhadap bangsa ini cukup banyak dan terglong besar. Dia memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan kekinian dan masa yang akan datang. Ketika dimasa orde lama, Mahbub yang waktu itu merupakan guru dan kakak saya dikalangan muda NU, sudah memikirkan tentang suatu masa kelak. Masa yang dipikikan dan dimakasudkannya ternyata menjadi kenyataan yakni Orde Lama.
Bahkan menurut Gus Dur sebenarnya Bangsa Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya, maka sebenarnya penghargaan yang pantas untuk Mahbub Djunaidi bukan dalam bentuk piagam atau tanda jasa. Melainkan dalam bentuk kesediaan bangsa Indonesia melanjutkan pemikiran, cita-cita pejuangan beliau. (hal.176).
Terdapat unsur-unsur sejarah yang terkandung dalam novel ini, diksinya khas sastrawan. Pengarang yang cerdas, menyamarkan peristiwa-peristiwa konflik yang mencekam dengan jenaka. Mengingat umur karya ini yang cukup tua (43 tahun) diksi-diksinya mungkin tidak sesusai dengan generasi saat ini.
Secara umum buku ini penting untuk dibaca bagi generasi muda, terutama para kader – kader PMII untuk menambah wawasan dan memompa motivasi. Serta sebagai bentuk refleksi bagaimana menjadi kader yang ‘seharusnya’. Melalui pribadi Mahbub Djunaidi kita bisa belajar bagaimana Mahbub muda mejadi Nahdliyyin yang menonjol pada zamannya, seorang penulis cerdas, kritikus, pemimpin, dan pembaharu bangsa pada zamannya.
Judul Buku : Dari Hari Ke hari
Penulis : Mahbub Djunaidi
Penerbit : Surah Sastra Nusantara
Tahun Terbit : Februari 2014
Kota Terbit : Yogyakarta
Tebal Buku : Vii + 182 halaman + Cover
Dimensi Buku : 14 X 19cm
Penulis : Mahbub Djunaidi
Penerbit : Surah Sastra Nusantara
Tahun Terbit : Februari 2014
Kota Terbit : Yogyakarta
Tebal Buku : Vii + 182 halaman + Cover
Dimensi Buku : 14 X 19cm
Oleh: Fathan Zainur Rosyid (Mahasiswa)
COMMENTS