Oleh: S. Fitriatul Maratul Ulya Baru beberapa pekan lalu ribuan kader PMII di berbagai kota/wilayah dengan semangat membara ikut menyu...
Oleh: S. Fitriatul
Maratul Ulya
Baru beberapa pekan lalu ribuan
kader PMII di berbagai kota/wilayah dengan semangat membara ikut menyuarakan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kini justru diantaranya mengalami tindakan
kekerasan secara langsung di dunia kampus.
Alasan mengapa RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual begitu gencar disuarakan sebenarnya bagian dari respon adanya
situasi moral yang carut marut. Sebab yang demikian itu, menyuarakan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual gencar dilakukan dalam rangka mengantisipasi dan
memperbaiki moralitas generasi bangsa Indonesia yang mengalami kerusakan akut.
Kerusakan moral di level akut ini yang kemudian menjadi sumber reproduksi
kejahatan sosial seperti pelecehan seksual dan perilaku menyimpang lainnya.
Kampus Sarang Kejahatan
Terjadinya pelecehan seksual di
dunia kampus tentu menjadi fenomena yang semakin memprihatinkan dikalangan
akademisi. Kampus sebagai kawah candra dimukanya ilmu, pengetahuan serta
tatanan moral justru ikut andil dalam perilaku-perilaku amoral dan meresahkan
banyak masyarakat, terutama kalangan perempuan dan para orang tua.
Kasus kekerasan seksual di dunia
kampus memang bukan kali pertama ini terjadi. Sudah beberapa nama kampus masuk
dalam daftar hitam sebagai zona tidak aman bagi kalangan mahasiswa. Bahkan,
tidak jarang nama-nama kampus tersebut adalah nama kampus yang cukup tenar dan
kampus yang dijadikan kiblat ilmu pengetahuan. Lebih ironisnya, dalam kasus
pelecehan seksual yag dialami oleh salah seorang kader PMII Putri (KOPRI) kota
Lampung itu dilakukan oleh seorang guru mahasiswa (Dosen). Hal ini kemudian ikut
melunturkan virtue value sebuah paribahasa agung “Guru: Digugu lan
ditiru”.
Kasus ini kembali menegaskan bahwa
baik-buruknya moralitas seseorang tidak bisa diukur dari seberapa banyak ia
menguasai pengetahuan, seberapa berimannya dia dimata kita. Sebab, pelecehan-pelecehan
seksual nyatanya tidak hanya terjadi di kalangan umum, melainkan
institusi-institusi berbasis keagamaan.
PMII Mengambil Sikap
Maraknya perilaku amoral sampai
terjadinya kekerasan seksual dikalangan mahasiswa tentu menjadi keresahan
seluruh kalangan aktivis mahasiswa. Hal ini tidak bisa terus menerus menjadi
tontonan dan sekedar aksi simpatisan untuk melontarkan kritikan. Terlebih,
pelecehan seksual dikalangan aktivis mahasiswa yang dilakukan dosen mencoreng
nama baik dunia akademisi. Sudah saatnya PMII mengambil sikap dan melakukan
tindakan dengan riil dan serius. Sebab, membalas kejahatan dengan kebaikan
seperti dalam quote serial anime Naruto sudah tidak lagi berlaku dalam ranah
memperbaiki moralitas bangsa.
PB KOPRI PMII dalam hal ini tidak
cukup hanya melakukan penggiringan isu melalui media. Perlu kerja lebih keras
untuk memangkas akar kejahatan moral demi menyelamatkan generasi mendatang.
Sebab, deretan kasus kekerasan seksual di kalangan kampus menjadi ketakutan
bagi sebagian orang tua untuk melepaskan anak-anaknya mengenyam pendidikan. Hal
ini dikhawatirkan memiliki efek buruk bagi kondisi sosial masyarakat di masa
mendatang. Bahwa, bisa jadi alasan pembatasan hak meraih akses pendidikan luas
bukan lagi beralasan karena budaya patriarkal yang kolot, melainkan konstruk
sosial diluar budaya patriarki yang saat ini tidak bisa ditangani.
Tugas memperbaiki moral bangsa
memanglah berat. Namun, KOPRI tidak sendiri. Seluruh elemen perempuan dan
aktivis mahasiswa harus memiliki andil besar dalam membantu penumpasan
kejahatan moral di negara kita. Perempuan yang melahirkan kehidupan, tugas
menjaga kehidupan adalah tanggung jawab bersama.
*Penulis adalah
Sekretaris KOPRI PC PMII Kota Semarang Tahun 2018-2019 sekaligus Ketua KOPRI
Komisariat UIN Walisongo Semarang Tahun 2016-2017
COMMENTS