Gambar oleh :pixabay.com Barangkali hanya penulis yang terlalu khawatir dengan keadaan Perguruan Tinggi Islam Negeri, yaitu setia...
Gambar oleh :pixabay.com |
Barangkali hanya penulis yang terlalu khawatir dengan keadaan
Perguruan Tinggi Islam Negeri, yaitu setiap dosen memiliki fungsi multi talenta
di bidang akademik; sebagai pengajar,
peneliti dan pengabdian.
Tugas pokok yang dirumuskan melalui format Tri Dharma menjadi
konsep dan napas setiap civitas akademik untuk menjamin kualitas dan kuantitas
diri sebagai penyanggah ruh Perguruan Tinggi. Beban seorang dosen tersebut
terus diukur sebagai penunjang reputasi melalui komponen Dharma secara
profesional dan konsisten.
Tidak ada yang salah jika belum maksimal, apa lagi penulis
tidak pernah kerja menjadi seorang dosen untuk melaksanakan komponen sempurna
Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sesibuk apapun, tugas pokok dosen adalah mengajar dan bertemu langsung dengan
mahasiswa. Tugas inilah yang lebih utama dilakukan seorang dosen untuk membuka
pikiran, wawasan, dialektika, adab, dan integritas mahasiswa yang tinggi.
Persoalan pelik saat ini adalah Perguruan Tinggi bergeser ke arah yang lebih industri, seperti
perusahaan negeri. Maksud penulis, terbentuknya ‘industri baru’ dimana pengelolaan
semua aset di arahkan ke bisnis. Harusnya Perguruan Tinggi Negeri tidak boleh
berorientasi pada keuntungan semata, tapi faktanya perolehan keuntungan bentuk materil seolah bukan sebagai hal tabu lagi.
Lucunya kondisi di atas
berlaku di Perguruan Tinggi
Negeri, Lalu apa bedanya dengan perguruan tinggi swasta yang keuangannya hampir semua bergantung pada
mahasiswa ?
Yang terjadi di PTN
menerapkan biaya pendidikan tidak hanya dari pemerintah dan mahasiswa saja. Tetapi,
mulai melebar ke beberapa aset PTN yang bisa menguntungkan dalam bentuk materi
seperti penyewaan gedung dan lain-lain. Itu artinya, pendanaan operasional, pengembangan, dan sarana -prasarana tidak sepenuhnya bergantung ke
pemerintah.
Nalar proyek
Salah satu bentuk konkret pengelolaan Perguruan Tinggi yang
digerakkan ke arah pikiran “Nalar Proyek” dan bisnis adalah, misal, pembukaan
awal dan akhir tahun dalam pengajaran program pendidikan akademik berbeda. Jika dibandingkan kebijakan-kebijakan negara yang resmi
pendidikan tingginya berangkat dari proyeksi program studi jangka panjang.
Adapun maksud nalar proyek adalah, jika pasar kerja mengalami permintaan yang tinggi dengan latar
belakang ilmu-ilmu tertentu, maka Perguruan Tinggi akan membuka secara
besar-besaran program pendidikan dengan keilmuan tersebut. Begitu juga dengan
sebaliknya, jika sepi peminat.
Tidak ada pertimbangan kolektif dan fundamental yang sesuai dasar dan konsep keilmuan, pendidikan
dibuka dan di tutup begitu saja semata-mata
bergantung pada pasar, yakni laku atau
tidaknya program pendidikan tersebut.
Munculnya mentalitas bisnis "aji mumpung" dan
nalar bisnis bisa membunuh roh Tri Dharma Perguruan Tinggi itu sendiri,
sebab napas akademik dari Dharma tersebut tidak mungkin dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Timpangnya pertumbuhan antara dosen (ahli) dan mahasiswa semakin tak terkendali. Imbasnya
banyak pengajar di Perguruan Tinggi kewalahan menjaga keseimbangan proses akademik, apalagi
ditambah beban sebagai pembimbing dan tugas penelitian. Jika di pikirkan tidak
masuk akal. Bukan begitu?
Rasa-rasanya mustahil, bayangkan saja jika seoarang Dosen
harus mengampu 10-14 mata kuliah per semester
ditambah beban membimbing tugas
mahasiswa dan pribadi, seperti Skripsi,
Tesis, Disertasi, dan Jurnal. Mestinya ada pertanyaan dalam pikiran
mahasiswa “Apa mungkin Dosen memiliki cukup waktu melaksanakan pengabdian dan penelitian secara
maksimal?.
Mungkin itu terlalu muluk untuk kita bicarakan dan berisiko. Jangankan penelitian, bertemu dengan mahasiswa
di ruang kelas sebagaimana mestinya pun belum tentu. Akibatnya mengajar menjadi
asumsi teknis yang diselewengkan pengajar dengan memutar materi yang sudah pernah di
berikan bahkan disusun belasan tahun sebelumnya.
Sampai di sini cukup jelas, sebagai manusia biasa mereka tidak mungkin
cermat dan teliti apalagi mengabdi ke masyarakat.
Oleh karena itu bisa dinilai bahwa Tri Dharma memang bisa di
sentuh supaya berjalan, tetapi tidak
lebih dari formalitas belaka. Demikian bukan semata di sebabkan dosen sebagai pengajar yang tidak mampu menjalankannya, tetapi bisa
sebagai rutinitas yang koherensi. Semua itu hadir dari kondisi struktural Perguruan Tinggi yang ruang geraknya pada nalar bisnis semata.
Prosedur-prosedur yang mungkin bisa dikatakan ideal sulit
untuk dikerjakan, sebab kondisi yang menuntut seperti itu dan tidak mendukung
untuk di realisasikan secara maksimal, yang terjadi adalah melahirkan bentuk wujud
formalitas yang tersembunyi.
Jalan terbaik untuk menyelesaikan peliknya itu adalah menyederhanakan dengan fenomena rill yang ada dengan kemampuan Dosen supaya tuntutan yang
ideal bisa di wujudkan secara nyata. Kemudian, pemangku kebijakan baik tingkat
Perguruan Tinggi maupun pemerintah melepaskan tekanan setiap Perguruan Tinggi
sebagai mekanisme pasar. Peran
pemerintah kembali menjadi penyelenggara pendidikan yang ideal sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan Perguruan Tinggi di
Indonesia.
Pemerintah harusnya menjadi ujung tombak regulator ideal
dalam segala aspek pendidikan tinggi, sebab setiap inovasi yang ada selalu mentah dalam implementasi di
lapangan. Dengan harapan impian tumbuh dan kembang dunia pendidikan tak sekedar
bunga tidur belaka.
Penulis: Boeh Mohamad
COMMENTS