Sumber Gambar: cashbac.com Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana diterapkan di Ibu Kota Jakarta dan bakal meluas ke kot...
Sumber Gambar: cashbac.com |
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana diterapkan di Ibu Kota Jakarta dan bakal meluas ke kota-kota lain bisa saja menyasar ke Kota Semarang. PSBB sendiri sah secara hukum karena diatur dalam PP No. 21/2020 yang dikuatkan Permenkes No.9/2020 tentang Pedoman PSBB (Kompas, 10/4/2020).
PSBB barangkali formulasi dari Social Distancing (pembatasan sosial) yang sejatinya masih "lunak" ketimbang aturan PSBB yang apa-apa mesti dibatasi sekaligus diawasi. Akses jalan utama diblokir, penjagaan juga menjadi makin ketat. Kota Semarang dapat dipastikan zona merah Covid-19 lantaran banyaknya pasien positif Corona di Kota Semarang. Berdasarkan data dari IDNNews (10/4/2020) pasien terbanyak dirawat di RSUP dr Kariadi (38), RSUD Wongsonegoro (8), RST Wira Tamtama (4) serta RS Telogorejo (3).
PSBB bisa saja diterapkan sebagai bentuk antisipasi lebih serius penyebaran virus. "Kejutan" pasien tak jujur yang mengharuskan 46 tenaga medis RSUP dr Kariadi diisolasi menyisakan penyesalan luar biasa. Apalagi masih saja ditemukan warga yang 'kongkow' di cafe-cafe, angkringan, atau tempat keramaian yang seolah-olah tak mendukung perlawanan terhadap Covid-19. Sungguh, upaya memerangi virus ini menjadi makin berat dan bisa tak kunjung usai.
Kurang kompaknya warga dalam turut memerangi ancaman Corona disebabkan beberapa faktor. Pertama, pola pikir masyarakat yang sulit diatur. Hal ini karena keterbatasan ekonomi menjadi alasan "jika tidak kerja dan keluar rumah mau makan apa?" Itu sungguh pelik dan jelas sulit diarahkan. Apalagi jika diingatkan oleh warga lainnya, tentu masyarakat tersebut akan menjawab: "kamu enak, dapat gaji dan punya cukup uang. Kita kalau tidak kerja tidak makan". Padahal sesungguhnya, orang yang mengikuti instruksi pemerintah dengan di rumah saja juga tak selalu kaya.
Di antara warga yang patuh social distancing juga "terpaksa" karena keadaan dan tak selalu pula memiliki banyak cadangan makanan atau finansial. Mereka sama-sama miskin dan terpontang-panting.
Kedua, titik jenuh 'perlawanan'. Masyarakat yang sejak Maret menerapkan pembatasan sosial bagi dirinya tentu sudah mulai bosan. Hanya di rumah tanpa pemasukan secara finansial, tentu akan menemukan titik jenuh. Apalagi saat diberlakukan pembatasan sosial, warga lainnya justru mengabaikan aturan itu. Di sisi lain, satu per satu tenaga medis gugur dalam peperangan, jumlah pasien terjangkit meningkat, dan gejala pulang kampung (mudik) pun mulai dirasakan.
Secara umum, masyarakat tetap optimis dan punya keyakinan bahwa pandemi ini segera berakhir. Namun keyakinan itu akan terealisasi apabila kompak dalam melawan wabah, tetap saling membantu dan bergotong-royong. Kondisi ekonomi menjadi semakin sulit. Pedagang dalam jualannya juga terasa sia-sia, minim pembeli. Pekerja formal mulai dirumahkan, dengan gaji separuhnya. Usaha jasa mandeg, hanya bisnis kuliner dan penjual pulsa saja yang bisa jalan meski tak seramai dulu.
Satu-satunya jalan untuk menyambung hidup bersama tetaplah bergotong-royong dan saling bantu. Warga yang memiliki kebun sayur, bisa saja membagikan sayur-sayurnya untuk tetangga. Bagi yang memiliki banyak ayam piaraan, bisa dibagi dengan saudara atau tetangga lain. Cara-cara sosial di pedesaan bisa diterapkan di Semarang.
Warga yang memang kaya bisa patungan, membantu warga miskin yang luput dari bantuan pemerintah. Kejujuran pasien saat memeriksa dirinya ke klinik atau rumah sakit juga sangat penting. Ini akan berhasil diterapkan sebagai perlawanan melawan wabah, jika opsi terburuk PSBB diberlakukan di Semarang. BERSIAPLAH !
Oleh :Didik T. Atmaja,
Buruh, Terdampak Tak Langsung Covid-19. Tinggal di Semarang
COMMENTS