Perihal PMII Kota Semarang
Ini perihal
Semarang. Jika ada kesamaan latar dan fenomena, kapan hari mari lanjut
berbicara.
Debat kandidat
calon ketua cabang. Di banyak kepala pasti bukan lagi ketegasan dan visi-misi
berbobot yang dijunjung tinggi. Di lokasi debat, ada cukup banyak kader, dari
yang masih berproses di tingkat rayon, komisariat, cabang, bahkan barangkali
juga koordinator cabang. Di antara itu, memang masih ada suara-suara ideal yang
dilontarkan dalam bentuk pertanyaan kepada para calon ketua, sebagai antitesis
apatisme terhadap visi-misi calon pemimpin kita, tapi itu tidak cukup vokal.
Suara kritis
tersebut, apabila vokal -artinya menjadi perhatian kader, paling tidak ada
ruang dialog lebih jauh dari para calon pemimpin untuk menjawab. Contohnya,
diseminasi dokumentasi debat kandidat, selain memuat tangkapan foto para calon
pemimpin ketika menyampaikan visi-misinya, juga mestinya ada dokumentasi
catatan pertanyaan beserta jawaban dari para calon (seterusnya sebut saja
begini agar ringkas), menyertakan pula kontak atau media sosial yang bisa terus
menghubungkan masyarakat (para kader PMII se-Cabang Semarang) kepada para
calon.
Sekalipun
memang elektoral kepemimpinan PMII hari ini tidak dapat dinafikan telah
mengalami degradasi -baik dari strategi politik, narasi intelektual, juga
substansi agenda- setidaknya perihal visi-misi bisa dijadikan hal yang dapat
diingat oleh kader sepanjang satu periode masa khidmat.
Paling tidak
dari visi misi itu, sedikit banyak bisa menerka siapa dan bagaimana figur
pemimpin kita nanti. Pun pribadi para calon akan jelas-jelas tersorot oleh
banyak mata di PMII Semarang, dengan demikian kader akan mengerti bagaimana para
calon pemimpin berpikir dan berkomitmen.
Para calon
sudah semestinya adalah mereka yang telah mengukur kapasitas diri untuk
memimpin kader PMII se-Cabang Semarang juga mereka yang sudah menghitung
seberapa besar halang-rintang yang mungkin ditemui dalam perjalanan.
Para calon
adalah juga orang yang paham jika kader-kader yang hadir mendukungnya kala
debat kandidat, adalah orang yang cukup bisa diminta untuk menemani penuh masa
khidmatnya nanti -jika para calon benar-benar berkomitmen memimpin. Maksud saya
‘berkomitmen’ di sini, adalah teguh untuk menang. Saya mempercayai, hanya ia yang
mau menang dan sedih ketika kalah, yang benar-benar punya gagasan “di bagian
ini dan itu PMII Semarang perlu diperbaiki, yang bagian ini bisa dilanjutkan,
serta menanganinya dengan cara begini-begini”.
Meminta para
sahabat untuk menemani masa khidmat merupakan aspek krusial dalam manajemen
kepemimpinan. Meminta dalam arti benar-benar menyampaikan permohonan untuk
menempa kepengurusan bersama, atau bisa juga menempatkan mereka dalam fungsi
yang proporsional berdasarkan tujuan, atau sekadar meminta mereka agar tetap
terhubung dalam komunikasi terkait perkembangan kader di setiap cakupan jenjang
kaderisasi yang dapat mereka jangkau -komisariat atau rayon.
Para calon juga
tidak boleh menutup mata bahwa pola pikir “nanti menjelang tengah periode pasti
jumlah pengurus aktif menyusut drastis” adalah catatan sejarah yang berulang
dan telah membentuk model. Demikianlah mengapa sedari sebelum mencalonkan diri,
para pemimpin semestinya sudah menjalankan dengan baik konsep etika dan etiket.
Kapanpun jumlah
pengurus aktif telah menyusut, atau bisa dibilang hanya beberapa kader saja
yang masih gerak masif dan bisa dipercaya untuk menjalankan roda organisasi,
pemimpin sudah seharusnya memiliki rangkaian tindakan yang mengubah pola
program kerja berdasarkan biro/ lembaga/ badan menjadi pola program unggul
kepengurusan masa khidmat 2023-2024 -untuk periode kali ini. Maksudnya,
pemimpin sudah semestinya memiliki fokus gerak yang dibangun sedari mula
kepengurusan. Fokus gerakan ini mewujud dalam program yang memiliki tolok ukur
keberhasilan, bukan lagi rancangan keinginan yang perlu dibahas panjang.
Program itu
bisa misalnya berupa ‘pengisian website dengan database kader yang disesuaikan’,
ini berguna bagi kepengurusan di berbagai jenjang sebagai dasar menentukan
kurikulum kaderisasi. Atau program ‘pembangunan media informasi gen Z melalui
kanal media sosial yang membedah berbagai latar belakang munculnya kebijakan
pemerintah’, atau program-program lain yang selaras dengan visi-misi pemimpin.
Memang benar
keikutsertaan dan berjalannya kepengurusan idealnya adalah tanggung jawab
setiap kader yang menjadi pengurus. Setingkat cabang di PMII, sudah seharusnya
mengerti posisi masing-masing keanggotaan yang diambil. Namun, kepekaan membaca
situasi kaderisasi menurut perkembangan waktu adalah sikap pemimpin. Kepiawaian
merangkul dan ketelitian menjaga dinamika orang-orang di sekitar juga merupakan
sikap pemimpin.
Hari ini,
asumsi bahwa organisasi PMII semakin menyusut relevansinya bagi kampus maupun
bagi anak muda secara luas, semakin banyak dirasa (disc: saya melihat dari
fenomena gerak mahasiswa di beberapa kampus di Jawa Tengah, tentu perihal
eksistensi PMII di Jawa Tengah perlu penelitian lebih lanjut). Penyusutan
relevansi ini tentu bersumber dari banyak faktor, baik karena pola hidup pasca
pandemi covid-19, kondisi sosial-ekonomi-politik bangsa, literasi sejarah yang
lemah, ataupun masalah kapabilitas kader mengelola organisasi.
Keniscayaan
jumlah pengurus yang menyusut seiring berkurangnya periode kepengurusan harus
menjadi lecutan bagi pemimpin untuk bersikeras mendapatkan hati sebagian pengurus
-jika tidak mungkin mendapatkan hati seluruh pengurus. Selagi masih menjadi
calon pemimpin, kader sudah sepantasnya memiliki rancang bangun gerak yang
utuh. Ada satu atau fokus bidang yang dipegang untuk menampakan versi
kepemimpinannya.
Ada beberapa
sikap pemimpin yang saya rindukan di PMII beberapa periode ini, yaitu
keberanian menjalankan program yang mungkin tidak popular (sebab tidak ada
dalam tradisi PMII) tapi sangat dibutuhkan oleh organisasi. Misalnya,
pendidikan politik bagi kader yang benar-benar melibatkan elemen politik negara
seperti lembaga pemerintahan, partai politik, politikus, pihak independen, juga
masyarakat, secara tematik. Atau program digitalisasi literasi PMII menurut
budaya pop yang berkembang.
Saya juga
merindukan sikap pemimpin yang tegas memilah mana program yang harus
dilanjutkan dan dikembangkan, serta mana program yang harus dihapus sebab tidak
memberi dampak signifikan selama bertahun-tahun. Kepekaan ini berlaku juga
dalam memetakan jabatan serta fungsi kader di setiap posisi keanggotaan, mampu mengukur
kapasitas dirinya sendiri sekaligus sahabat-sahabatnya.
Merindukan pula
sikap pemimpin yang memiliki ketegasan tindakan dan kebesaran hati dalam
menuntaskan potensi-potensi konflik di sekitar dinamika elektoral kepemimpinan
organisasi. Saya merindukan pemimpin yang memiliki kepekaan-kepekaan tersebut.
Tak apa jika
itu perlu mendobrak ‘tradisi’ organisasi. Tak apa jika mesti menghilangkan
program yang terbiasa di lakukan setiap kepengurusan. Tak apa jika ditentang
oleh banyak pihak dalam mengeluarkan kebijakan. Asalkan ada argumentasi. Pun
jika dirasa perlu mempertahankan tradisi, harus dengan argumen yang tegas bagi
para kader. Tidak melulu dengan, ‘PMII selalu melakukannya dengan cara ini’.
Selain melihat
ke depan, pemimpin juga harus selalu siaga melihat masa lalu. Ada banyak
sejarah terkubur dari pandangan mata kader PMII hari ini. Sejauh pengamatan
saya, sejarah yang terkubur di antaranya gerak nyata para pendiri NU yang
mewujud dalam nahdlatul wathon, taswirul afkar, dan nahdltul tujjar. Selainnya
adalah tradisi menulis dan cita-cita mewujudkan banyak kader PMII yang mumpuni
dalam riset. Juga sejarah kesejajaran kader PMII sebagai mahasiswa dan
masyarakat dengan birokrasi sebagai pemerintah kampus maupun pemerintah daerah
setempat. Serta banyak lagi -di luar kapabilitas saya menelisik dan mengingat.
Di kala rencana
realisasi program-program kerja sudah mulai nampak tidak kondusif -entah karena
kuantitas pengurus yang menyusut atau karena jalannya program tidak sesuai
tujuan, maka etiket pemimpin dijalankan. Saatnya pemimpin memfungsikan sahabat-sahabati
yang masih dalam keteguhan gerak, dengan melihat kapabilitasnya juga
menyesuaikan dengan perubahan strategi gerak. Saatnya pemimpin meninjau kembali
tolok ukur keberhasilan programnya. Jika tidak demikian, sangat mungkin
pemimpin hanya akan terjebak dalam tekanan batin dan mental yang cukup serius
sebab diri merasa gagal memegang amanah.
Dan satu lagi,
karakter ‘instan’ kaum milenial maupun gen Z adalah karakter yang tidak dapat
dihindari dalam kepengurusan cabang PMII hari ini. ‘Instan’ dalam arti
keinginan untuk mendapatkan hal yang cepat memberi keuntungan dan kenyamanan.
Contohnya, cepat kerja dengan penghasilan besar. Oleh karenanya, pemimpin
cabang juga harus melatih diri untuk memiliki kebijaksanaan dalam membatasi
porsi kerja organisasi dan memberi waktu bagi aktivitas individu seluruh
pengurusnya.
Sudah zamannya
pemimpin organisasi intelektual memiliki alternatif-alternatif keseimbangan
antara kerja organisasi dan kerja individu. Misalnya, aktivitas rapat kerja
yang bisa diakses oleh seluruh pengurus dalam kurun waktu yang fleksibel. Atau
intensitas rapat yang ramping dan terukur, tidak perlu sering kumpul, asal tempo
perkembangan agenda sesuai rencana dan manajemen informasi tepat sasaran.
Terakhir, pemimpin
PMII sudah sepantasnya menjalankan program-program organisasi yang bersifat menjembatani
kader untuk siap mewujudkan diri dalam kerja-kerja masyarakat, baik di bidang
pemerintahan, pendidikan, talenta digital, administrasi, wirausaha, pelopor
fasilitas teknologi, pemberdaya desa, lembaga swadaya, pariwisata, manufaktur,
maupun lainnya. Kemandirian bangsa dari segala sisi, bukankah menjadi impian
seluruh kader PMII untuk terlibat aktif?
*Betari Imasshinta
Kader PMII Cabang Semarang
COMMENTS