Menurut John Rawls dalam pembukaan buku Teori Keadilan, keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang...
Menurut John Rawls dalam pembukaan buku Teori Keadilan, keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang, yang diperberat oleh sebagian tanggungan keuntungan yang dinikmati banyak orang. Keadilan juga menolak lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang yang dapat dibenarkan oleh hal lain, yang bisa mendatangkan hal lebih besar untuk orang lain dalam masyarakat yang adil dan bebas. Konsep kewarganegaraanya telah mapan dan hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial lainnya.
Ia
melanjutkan, bahwa subyek dari keadilan sosial adalah struktur dasar masyarakat.
Atau lebih tepatnya, bagaimana cara lembaga-lembaga sosial utama
yang ada di masyarakat mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta
menentukan pembagian keuntungan dari hasil kerja sama sosial. Bagi penulis,
paham utilitarianisme yang menggadang-gadang the greatest amount of
good for the greatest number yang dipelopori Jeremy Bentham, tidak bisa
selalu kita terima jika prinsip tersebut dijadikan dalih pemerintah mengelola
negara. Maka, dalam negara yang sudah mapan
dan kuat, John Rawls dengan tegas melarang siapapun dikorbankan demi kebahagian
yang lebih besar tersebut.
Paham
utilitarianisme ini sayangnya selalu muncul dalam konflik berbau agraria
yang melibatkan
penggusuran sebagian masyarakat miskin. Terbaru, Kulon Progo menjadi saksi paham tersebut demi mulusnya domino keuntungan
pariwisata Yogyakarta. Pembangunan bandara internasional tersebut pada faktanya
menyisakan isak tangis dan perlawanan, sementara perlawanan masyarakat
terdampak melahirkan kuatnya solidaritas dari banyak masyarakat.
Jika
kita setuju pendapat Asghar Ali, bahwa
konsep pokok Teologi Islam adalah Tauhid, yang dalam rangka
mengembangkan struktur sosial mensyaratkan harus membebaskan manusia dari
segala macam perbudakan dan penindasan, maka Tauhid disini harus dilihat
dari perspektif sosial. Untuk itu, konsep Tauhid ini bukan sekadar ke-Esaan
Allah semata, tetapi kesatuan manusia yang hanya bisa diwujudkan dengan
menciptakan masyarakat tanpa kelas. Konsep ini merupakan perasan semangat Islam
dalam menciptakan keadilan dan kebajikan (al-'adl wa al ahsan).
Keyakinan, optimisme, dam kesabaran adalah beberapa nilai yang mendasari perjuangan dakwah Islam.
Teologi pembebasan melarang ajaran Islam yang menyatakan bahwa Allah
bersama orang yang sabar direduksi menjadi konsep kesabaran yang melanggengkan
status quo. Teologi pembebasan harus meyakini bahwa nilai sabar tersebut harus
digunakan saat masyarakat sedang memperjuangkan perubahan sosial, mewujudkan
masyarakat tanpa kelas (mewujudkan Tauhid). Kesabaran harus dimaknai
dalam perspektif teologi pembebasan yang sadar bahwa mewujudkan Tauhid
yang dimaksud membutuhkan keteguhan hati yang kuat. Seperti yang telah tertulis
dalam QS. al-Qashash : 4-5 dan QS. al-A’raf : 137. Kesabaran yang dimaksud dalam konteks Kulon Progo adalah seperti
yang dimiliki dan dilakukan Bani Israil saat melawan kedzaliman Fir’aun. Kesabaran dalam melawan, bukan kesabaran dalam menerima
penderitaan atau kedzaliman.
Siapa
yang diuntungkan dan siapa yang harus menanggung beban agar keuntungan tersebut
bisa didapatkan? Cukup adilkah lembaga sosial kita membebankan kepada sebagian
masyarakatnya untuk kehilangan ruang hidupnya (bukan sekadar masalah
penggusuran lahan), sementara beban kehilangan tersebut dalihnya demi
keuntungan yang lebih besar dan masyarakat yang lebih luas yang akan
merasakannya? Jika kita bagian dari anggota masyarakat yang terlibat dalam
lembaga sosial (negara) yang akan menerima keuntungan yang dihasilkan dari
derita dan beban sebagian anggota lembaga sosial lainnya, akankah kita dengan
sukarela menerima keuntungan tersebut (belum bisa dipastikan sekala
keuntungannya)?
Pihak
Angkasa Pura sebagai penanggungjawab pembangunan bandara tersebut hanya
bermodal jargon konsinyasi. Selama cara pandang penggusuran hanya menggunakan
kalkulasi ekonomi, maka ruang hidup yang terampas di depan mata kita menjadi
kabur tidak terlihat. Pembahasan ruang hidup yang kompleks akhirnya dianggap
dan dinilai dengan ukuran rupiah. UU Nomor 2 Tahun 2012
yang mengatur konsinyasi tersebut bukanlah sesuatu yang tidak boleh ditentang
dan dilawan. Selama penegakan UU tersebut membuat keadilan terciderai, maka melawannya bisa dibenarkan.
Jika
kita menjadi bagian yang mau menerima keuntungan dari pembangunan bandara ini,
kita seperti sedang makan dengan duduk dan bermeja punggung saudara kita yang sedang membungkuk. Jika kita bagian dari
yang menolak, sudah seharusnya kita melihat dan mengajukan gugatan dari
berbagai sudut pandang agar bisa merubah pandangan umum tentang keuntungan yang
tidak berkeadilan tersebut.
Jika penggusuran lahan sering dilindungi putusan-putusan hukum yang dibuat negara (Pengadilan Negeri Wates), maka, lanjut John Rawls dalam konteks pembangkangan sipil, melawan hukum (UU Nomer 2 Tahun 2012) tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk kesetiaan pada hukum negara dari lapisan kulit terluarnya. Karena kita tahu bahwa sudah sepatutnya hukum (keputusan sosial) harus ditujukan kepada setiap individu masyarakat, tanpa terkecuali.
Jika
ada yang dirugikan dari putusan hukum, melawan adalah bentuk kesetiaan dari
terjaganya tujuan hukum diundangkan. Maka melakukan perlawanan semacam ini
harus dilandasi sikap sabar, karena kita tahu melawan modal yang dikawal negara
tidak pernah mudah. Karena kita tahu perlawanan semacam ini, tidak peduli
meskipun sebenar apapun kita perlawanannya, tidak ada yang pernah sebentar. Semoga
kita selalu sabar dalam setiap perlawanan!
Ahmad Muqsith
Departemen Pendidikan dan Pengkaderan PC PMII Kota Semarang 2016-2017
COMMENTS