Gong Xi Fa Cai selamat tahun baru imlek 2571. Tentunya kita semua patut merasakan kebahagiaan saudara kita etnis Tionghoa yang jatuh pa...
Gong Xi Fa Cai selamat tahun baru imlek 2571. Tentunya kita semua patut merasakan kebahagiaan saudara kita etnis Tionghoa yang jatuh pada 25 Januari tahun ini 2020.
Mereka yang merayakan Imlek berbondong-bondong menyambut tahun baru ini dengan penuh suka cita; berkumpul bersama keluarga, memanjatkan doa harapan baik, hingga pelbagai tradisi pun dilakukan.
Sejarah perayaan tahun baru imlek di Indonesia sempat mengalami pasang surut. Redamnya kebahagiaan etnis Tionghoa ini dimulai sejak kekuasan beralih ke tangan Soeharto 1996.
Menurut catatan Tomy Su yang berjudul ‘‘Pasang Surut Tahun Baru Imlek’’ terbit di Kompas (8/2/2005), ada 21 peraturan perundangan yang diterapkan Presiden Soeharto terhadap etnis Cina tak lama setelah ia memperoleh Supersemar.
Terbitnya Inpres No.14/1967 tentang Agama kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Adapun isi dari Inpres tersebut diantaranya adalah perayaan tahun baru Imlek harus dilaksanakan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan. Itu artinya, perayaan Imlek haram digelar di depan publik.
Tidak cukup sampai di situ, pertunjukkan barongsai dan liang liong pun dilarang di muka umum. Larangan juga menyangkut penggunaan aksara Cina dan pemutaran lagu Mandarin di radio. Berdasarkan peraturan perundangan itu juga, sebutan ‘‘Tionghoa” lalu berganti menjadi “China”.
Dengan demikian kebijakan-kebijakan ini disebut sebagai upaya asimilasi etnis.
Babak Baru Etnis Tionghoa
Pasca tumbangnya Presiden Soeharto merupakan lembaran baru bagi komunitas Tionghoa setelah 32 tahun menjadi korban diskriminatif. Reformasi bergulir tahun 1998, pucuk kepemimpinan beralih ke Presiden Habibie.
Masa Bakti Presiden Habibie yang singkat melahirkan Inpres No.26/1998, yang isinya adalah penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kebijakan-kebijakan diskriminatif yang menaifkan komunitas Cina dari nasionalisme Indonesia pada akhirnya menemukan titik terang ketika Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur terpilih menjadi Presiden. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Pencabutan Inpres itu dengan terbitnya Inpres Nomor 6 Tahun 2000 bertepatan pada 17 Januari 2000. Konsep kebangsaan Gus Dur meniadakan pribumi dan nonpribumi sebenarnya sudah ia perkenalkan sejak lama, namun baru terealisasi sepenuhnya ketika cucu pendiri NU itu naik menjadi presiden tahun 1999.
Dengan demikian etnis Tionghoa merasakan suka cita mendalam dan bisa merayakan tahun baru Imlek secara terbuka. Setahun kemudian, Imlek diresmikan sebagai hari libur fakultatif dengan Keppres Nomor 19 tahun 2001.
Pada puncaknya, Perayaan Imlek ditetapkan sebagai hari nasional pada era Presiden Megawati. Ia menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada (17/2/2002). Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional dilakukan pada 2003.
Pada tahun 2004 Gus Dur tak menampik, bahwa diskriminatif terhadap etnis Tionghoa hilang sepenuhnya. “Masih ada 4.126 yang belum dicabut. Misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya,” kata Gus Dur dikutip dari harian Kompas (11/3/2004).
Tokoh NU itu berharap, seluruh elemen bangsa memberi kesempatan kepada masyarakat Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat.
“Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempa saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan,” ucap Gus Dur.
Pemikiran terbuka dan kebijakan-kebijakan Gus Dur yang membela sesama, cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu pun mendapat gelar sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
Penulis: Zaidie Nur
COMMENTS