Revolusi Industri 4.0 telah dan sedang mengubah banyak hal dalam kehidupan kita, bahkan tidak dipungkiri lagi, banyak orang yang menyambut d...
Revolusi Industri 4.0 telah dan sedang mengubah banyak hal dalam kehidupan kita, bahkan tidak dipungkiri lagi, banyak orang yang menyambut dan merayakannya dalam riuh rendah. Banyak webinar, diskusi, dan forum akademis serupa yang mengambil tema berakhiran “di era revolusi industri 4.0”, hal semacam ini tidak jarang dijumpai juga di lingkungan PMII. Tema ini selalu diangkat dalam berbagai forum karena kehadiran revolusi industri 4.0 dianggap telah memengaruhi segala bidang hidup manusia.
Revolusi industri 4.0 merupakan revolusi industri keempat; yang hadir setelah terjadi revolusi industri pertama dengan ditemukannya mesin uap, revolusi industri kedua yang berkaitan dengan listrik, revolusi industri ketiga yang serba komputerisasi. Revolusi industri 4.0 ditandai perkembangan teknologi dan informasi yang sangat luar biasa melalui adanya internet.
Dalam perkembangan internet yang luar biasa, manusia tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu, ruang menjadi semakin tidak spesifik dan waktu menjadi semakin fleksibel. Perkembangan internet juga turut mempengaruhi salah satu sektor kehidupan manusia, yakni tenaga kerja, karyawan, atau dulu yang pernah disebut sebagai buruh – kita tahu bahwa secara historis, memang revolusi industri selalu berkelindan dengan persoalan buruh.
Sektor tenaga kerja menjadi semakin menarik untuk diamati di era revolusi industri 4.0, karena tantangan yang ada saat ini adalah dimulai dari kelangkaan pekerjaan (job scarcity), meskipun secara pasti kondisi tersebut kental dengan pertumbuhan dan perkembangan di wilayah perkotaan. Kelangkaan pekerjaan kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “ekonomi gig” atau “ekonomi berbagi” dengan daya tawar dapat membuka peluang kerja.
Ekonomi Gig dan Kerentanan Pekerja
Berkat kebangkitan internet, tenaga kerja tradisional telah mengalami perubahan besar, alat komunikasi berbasis internet semacam email dan media sosial telah membuat pekerjaan lebih fleksibel dan menyatukan orang lebih cepat. Hal ini dipertegas selama kondisi Covid-19 yang mendorong setiap pekerjaan untuk mengandalkan teknologi tersebut lebih jauh. Orang tidak perlu lagi mengandalkan waktu klasik dari nine-to-five atau bekerja di sebuah kantor, karena di era revolusi industri 4.0 perlahan meninggalkan cara tersebut.
Sebaliknya, mereka dituntut untuk lebih kreatif dan mandiri dalam mengambil pekerjaan, bekerja dalam jangka pendek dan – secara positif – sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Sehingga ekonomi gig identik dengan pekerjaan lepas “freelance” yang saat ini semakin populer di kalangan kaum muda. Pekerjaan lepas freelance didasarkan pada hadirnya platform online pasca kelahiran internet yang kemudian memunculkan status dan relasi kerja baru yang berpusat pada tiga pihak; pekerja, klien dan pemilik atau operator platform.
Dalam beberapa tahun saja, cara kerja ini dominan di sektor-sektor tertentu seperti transportasi dan ritel. Popularitas platform daring membuktikan bahwa teknologi ini menjawab kebutuhan banyak orang, yaitu akses pada barang dan jasa dalam waktu singkat, hingga menurunkan biaya dan pengeluaran untuk alokasi sumber daya. Dari sisi komoditas, Platform daring menawarkan segala jenis kebutuhan dengan cara baru; di bidang jasa ada Gojek, Grab, Shopee food/express; di bidang barang ada Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak.
Di balik cara kerja baru ini, beberapa pengamat seperti Fuchs dan Sevignani (2013) menduga bahwa – bisa jadi – relasi kerja yang terjadi tidak jauh berbeda dari yang kita jumpai sebelum era revolusi industri 4.0. Ada pekerjaan dengan status tetap dan kontrak berjangka waktu seperti di kebanyakan industri lain. Pemberi kerja di sini bisa pemilik atau operator platform, klien, perusahaan penjual komoditas dan penyedia jasa, sementara buruh atau pekerjanya adalah siapapun yang dibayar untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan oleh pemberi kerja.
Model kerja ini menjadi berbeda dan diminati oleh kaum muda karena daya tawar kebebasan dalam mengatur waktu dan tempat bekerja serta menolak keterikatan jangka panjang dengan satu pihak. Dengan kebebasan ini, mereka bisa bekerja untuk beberapa proyek sekaligus, bekerja dari rumah bahkan sambil menempuh studi. Akan tetapi, daya tawar pekerjaan ini dibayang-bayangi problematika kerentanan yang lekat dengan sifat prekariat – kerja yang berdurasi pendek, tanpa jaminan dan keamanan kerja, dan tanpa standar upah yang jelas.
Kontradiksi antara daya tawar dan kerentanan memberi tantangan tersendiri ketika dihadapkan pada konsep “kerja layak” yang didefinisikan oleh International Labour Organization (ILO) seperti; upah yang adil; keamanan di tempat kerja dan perlindungan sosial bagi keluarga; menyediakan kesempatan bagi pengembangan pribadi; dan memberi pekerja kebebasan untuk menyampaikan kekhawatirannya, berorganisasi dan berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mereka.
Dalam hal perlindungan sosial, tantangan terbesar model kerja ini ada pada sifat sementara dari pekerjaan-pekerjaan berbasis platform online. Kerja freelance biasanya berbasis proyek dan berjangka pendek; cara kerja ini kerap luput dari perlindungan dan jaminan sosial yang berbasis relasi majikan-pekerja konvensional berjangka panjang. Menganggur saat sepi pesanan, penghasilan yang tak pasti, tidak adanya jaminan hari tua merupakan momok yang kerap menghantui para freelancer.
Untuk mengatasi hal itu, di Eropa memperkenalkan konsep “flexicurity”, gabungan antara kelenturan (flexibility) pasar kerja yang menguntungkan majikan dan jaminan (security) sosial yang melindungi pekerja (Murray dan Gollmitzer, 2012). Sistem ini menuntut kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif melakukan intervensi demi mengatasi pengangguran memakai anggaran belanja negara. Selain itu, pembiayaan jaminan sosial, meskipun sebagian ditanggung pekerja, pada dasarnya merupakan tanggungjawab pemerintah. Di negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan semacam ini masih sangat asing.
Pada akhirnya, ekonomi gig yang di awal menawarkan membuka lowongan pekerjaan berskala besar dengan hadirnya internet justru menghadirkan masalah baru, yaitu kerentanan pekerja.
Problem kerentanan pekerja di zaman ekonomi gig ditandai dengan menguatnya hubungan kerja dengan embel-embel “kemitraan”. Narasi hubungan kerja dengan embel-embel “kemitraan” mengaburkan hubungan kerja yang jelas antara pekerja dan majikan, yang berdampak terhadap absennya pemenuhan hak-hak dasar para pekerja dan jaminan sosial yang melindungi pekerja.
Ilusi Kemitraan dalam Gig Ekonomi
Berbagai kerentanan yang mengancam pekerja lepas atau freelancer terselip di dalam banyaknya kemudahan dan keuntungan yang didapatkan. Salah satu jenis kerentanan yang sering muncul dalam wacana kerja freelancer adalah status atau identitas pekerjaan. Wacana kerja digital memperkenalkan hubungan kerja yang baru, tidak ada lagi batas yang jelas dan tegas antara pemberi kerja dan pekerja. Pemilik platform dan pemilik akun berelasi seolah-olah sebagai “mitra” yang setara dalam menawarkan barang dan jasa kepada konsumen – tidak ada lagi pekerja dan majikan.
Misalnya, pengemudi bermitra dengan perusahaan aplikasi atau platform transportasi, penjual barang/jasa dengan pemilik marketplace. Dalam istilah teknis perundangan-undangan yang terjadi bukan relasi kerja, melainkan relasi bisnis; bukan antara pemberi kerja dan pekerja, melainkan antara satu pengusaha dengan pengusaha lain. Yang menjadi masalahnya adalah relasi kerja/bisnis yang baru ini masih kabur dalam banyak hal terutama karena peran platform yang seolah-olah hanya sebagai tempat bertemunya pekerja/pebisnis dan kliennya.
Dalam hal pengaburan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha di perusahaan-perusahaan berbasis aplikasi platform online, logika ekonomi gig seolah hendak memosisikan para pekerja menjadi setara dengan para pengusaha/pemilik perusahaan. Dengan menghilangkan istilah “buruh” atau “pekerja” atau “karyawan” dan menggantinya dengan “mitra” otomatis menghapus hak-hak dasar para pekerja, misalnya hak para driver ojol di jasa transportasi. Hasilnya adalah selalu muncul ketegangan antara perusahaan dengan para pekerja yang berupaya mendapatkan jaminan dan perlindungan atas hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.
Konsekuensi lain yang juga ikut muncul adalah masalah identitas pekerjaan di antara para pekerja yang memengaruhi kemampuan pengorganisasian diri mereka dalam serikat pekerja sehingga suara mereka dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mereka, yang lebih ekstrim yaitu membuat status mereka sebagai pekerja menjadi tidak dikenali dan tidak diakui.
Memang harus diakui bahwa banyak orang menjadi “Mitra Gojek”, “Mitra Grab” atau “Mitra Tokopedia” dan sejenisnya sebagai kerja sampingan, namun hal ini tidak lantas menganulir kenyataan kondisi kerja yang dialami oleh para pekerja.
Oleh sebab itu, gagasan bahwa ekonomi gig atau ekonomi berbagi akan menguntungkan semua pihak ternyata tidak tampak dalam aspek praktis.
Relasi kerja yang sesungguhnya tidak setara dengan embel-embel “kemitraan” telah mengomersialisasikan hampir seluruh aspek kehidupan manusia yang sebelumnya berada jauh di luar jangkauan pasar; sepenuhnya memengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan. Murillo, dkk (2017) menyebut fenomena ini dengan “neoliberalism on steroids”, bahwa dampak dari ekonomi berbagi adalah kaburnya definisi-definisi dari kerja.
Relasi kerja “kemitraan” memang senantiasa menemui berbagai masalah. Kondisi kerentanan di pihak pekerja (saja) serta pengaburan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha. Dengan kata lain, pekerja tidak hanya berada dalam sistem kerja yang eksploitatif, tetapi juga di bawah diskursus kerja yang manipulatif dalam konsep ekonomi berbagi – yang juga tidak berbeda dengan buruh dalam konsep ekonomi konvensional.
Gagasan tentang “kemitraan” yang mengakui para pekerja dalam ekonomi berbagi sebagai teman bisnis justru menghasilkan demarkasi yang ambigu antara “pertukaran kapitalistik dan nilai-nilai sosial altruistik”. Karena itu, definisi “berbagi” dalam ekonomi berbagi tidak lebih dari “berbagi semu” (pseudo-sharing). Ia hanya melanggengkan sebuah sistem dengan memanfaatkan tenaga kerja murah, dan dengan motif “berbagi” justru ikut serta menciptakan pasar bebas yang dapat dengan lebih leluasa meningkatkan keuntungan bagi kelas pemilik modal.
Bahan Bacaan:
Fuchs, C. dan S. Sevignani (2013) “What Is Digital Labour? What Is Digital Work? What’s their Difference? And Why Do These Questions Matter for Understanding Social Media?”, Communication, Capitalism & Critique 11(2): 237-293.
Murray, C. dan M. Gollmitzer (2012) “Escaping the Precarity Trap: A Call for Creative Labour Policy”, International Journal of Cultural Policy, 18(4): 419-438.
Murillo, D., Buckland, H., & Val, E. (2017). “When The Sharing Economy Becomes Neoliberalism on Steroids: Unravelling the Controversies”. Technological Forecasting and Social Change, 125, 66-76.
Penulis : Labiqul Hasan (Direktur Riset PC PMII Kota Semarang)
COMMENTS