Dalam konteks politik kontemporer di Indonesia, fenomena pemilihan figur non-politik seperti komedian Marshel Widianto sebagai calon Wakil W...
Istilah "autisme politik" dalam diskursus ini merujuk pada ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memahami dan merespons dinamika politik yang kompleks dengan cara yang rasional dan berwawasan luas. Tendensi ini, secara tidak langsung, mengarah pada pengambilan keputusan yang dangkal dan kurang pertimbangan matang.
Demokrasi idealnya menuntut partisipasi aktif dan cerdas dari setiap warga negara. Namun, realitas menunjukkan bahwa masyarakat sering kali terjebak dalam populisme dangkal dan selebritas politik.
Masyarakat yang Plural dan Demokrasi yang Rentan
Pemilihan tokoh seperti Marshel Widianto —yang lebih dikenal sebagai komedian ketimbang sosok dengan kapabilitas politik—menjadi cerminan bagaimana masyarakat cenderung mengabaikan kriteria mendasar kepemimpinan yang sejati, seperti integritas, kompetensi, dan visi politik yang jelas.
Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, figur-figur non-politik telah berhasil menarik simpati dan suara pemilih, sering kali melalui retorika populis dan karisma pribadi yang menawan. Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang bagi pemilihan pemimpin berkualitas justru berubah menjadi panggung hiburan yang mengandalkan popularitas semata.
Istilah "autisme politik" dalam hal ini bukanlah untuk merendahkan kondisi neurologis yang serius, melainkan sebuah metafora untuk menggambarkan ketidakpedulian dan ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam memahami dan terlibat secara rasional dalam politik. Fenomena ini dapat dilihat sebagai anomali dalam proses demokrasi yang sehat, di mana pemilih lebih tertarik pada aspek-aspek superfisial daripada substansi politik yang mendalam.
Tendensi Autisme Politik: Sebuah Anomali Demokratis
Istilah "autisme politik" dalam hal ini bukanlah untuk merendahkan kondisi neurologis yang serius, melainkan sebuah metafora untuk menggambarkan ketidakpedulian dan ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam memahami dan terlibat secara rasional dalam politik. Fenomena ini dapat dilihat sebagai anomali dalam proses demokrasi yang sehat, di mana pemilih lebih tertarik pada aspek-aspek superfisial daripada substansi politik yang mendalam.
Marshel Widianto, sebagai seorang komedian, mungkin memiliki kemampuan untuk menghibur dan menarik perhatian publik. Namun, apakah kapabilitas ini cukup untuk memimpin sebuah daerah dengan tantangan politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks? Jawabannya jelas tidak. Pemilihan semacam ini menunjukkan bahwa masyarakat terjebak dalam ilusi populisme, di mana humor dan popularitas lebih dihargai daripada kompetensi dan integritas.
Untuk mengatasi gejala autisme politik, pendidikan politik yang komprehensif dan mendalam menjadi urgensi. Masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan yang memadai mengenai bagaimana memilih pemimpin yang tepat berdasarkan kriteria yang rasional dan objektif. Pendidikan ini tidak hanya harus terjadi di bangku sekolah, tetapi juga melalui media massa dan diskursus publik yang konstruktif.
Urgensi Pendidikan Politik
Untuk mengatasi gejala autisme politik, pendidikan politik yang komprehensif dan mendalam menjadi urgensi. Masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan yang memadai mengenai bagaimana memilih pemimpin yang tepat berdasarkan kriteria yang rasional dan objektif. Pendidikan ini tidak hanya harus terjadi di bangku sekolah, tetapi juga melalui media massa dan diskursus publik yang konstruktif.
Penting bagi setiap warga negara, terutama kaum intelektual dan akademisi, untuk berperan aktif dalam mendorong kesadaran politik yang lebih tinggi. Mahasiswa, sebagai calon-calon pemimpin masa depan, dan para akademisi, sebagai penjaga gawang intelektualitas, memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi agen perubahan dalam konteks ini.
Mereka harus menjadi teladan dalam menunjukkan bahwa politik bukanlah sekadar ajang popularitas, tetapi sebuah arena bagi pemilihan pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata dan berarti bagi masyarakat.
Memilih komedian seperti Marshel Widianto sebagai Calon Wakil Walikota merupakan indikasi dari gejala autisme politik yang mengkhawatirkan. Hal ini mencerminkan tendensi masyarakat untuk mengabaikan esensi kepemimpinan yang sejati.
Oleh karena itu, pendidikan politik yang mendalam dan komprehensif menjadi sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih rasional dan berwawasan dalam memilih pemimpin. Hanya dengan demikian, demokrasi dapat berfungsi secara optimal dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar berkualitas. [Muhammad Agung Prayoga - Anggota Biro Media PC PMII Kota Semarang]
COMMENTS