Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradaban secara menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehid...
Di kancah global, umat manusia mengalami permasalahan yang cukup pelik dengan adanya sekulerasi yang terjadi secara menyeluruh. Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd melihat feneomena sekulerasi itu terjadi dalam dua bentuk. Pertama adalah sekulerasi obyektif dan sekulerisasi subyektif. Sekulerasasi obyektif sendiri menurutnya ialah pemisahan antara agama dengan kehidupan sehari-hari tetapi dilakukan secara radikal dan menyeluruh di kehidupan manusia. Pada praktik ini, umum terjadi di negara-negara barat dan negara komunis seperti china dan vietnam, di mana di kehidupan mereka sama sekali peran agama tidak bisa mengganggu gugat kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Sekulerasi subyektif sendiri dimaknai sebagai suatu perasaan atau sikap dalam hati individu ketika dirinya sendiri malah tidak perlu untuk dikontrol atau merasa peraturan agama tidaklah begitu penting. Misalnya saja steril dari perasan ada campur tangan Tuhan di kehidupan kita, kita makan untuk kennyang, prestasi atas kemauan diri sendiri, dan lain sebagainya tanpa melibatkan Tuhan satu kalipun.
Dilacak secara lebih jauh, kecenderungan munculnya masyarakat modern menjadi lebih sekuler karena dikondisikan oleh teknologi dan sains. IPTEK dimasa modern tidak lagi mengintegrasikan agama sebagai bagian penting atau value dan ontologis. Paradigma modern jauh lebih mengadaptasi pola postivistik, pragmatis, dan rasionalistik. Corak berpikir seperti ini hanya sekedar menjadikan materalisme dan menafikan hal-hal yang sifatnya adalah spiritual metafisik.
Bahwa dalam beberapa perspektif yang meliputi aspek diatas, menjadi kekhawatiran khusus dalam dunia pendidikan islam. Dimana pendidikan islam bisa mudah tergerus oleh sistem pendidikan yang semakin maju dan sekuler dengan dijadikannya pola pendidikan Barat sebagai kiblat. Maka dengan kecematasan yang terjadi muncul sebuah istilah yang bernama Islamisasi Pengetahuan.
Islamisasi Pengetahuan sebagai Upaya mengembalikan Ghirroh Akademisi Islam
Topik permasalahan diatas hanya penting jika dilihat dalam kerangka pemahaman dan keterlibatan dunia Islam yang semakin meningkat dengan ilmu pengetahuan modern. Para filsuf dan ilmuwan Barat telah membangun model sistem sejak abad ke-17, yang mendapat perhatian signifikan karena aplikasinya yang praktis dalam teknologi.
Kata Islamisasi menjadi populer selama Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam di Makkah pada April 1977. Islamisasi mengacu pada proses membebaskan individu dari kebiasaan dan kepercayaan sekuler yang membatasi pemikiran dan perilaku mereka. Dalam konteks ini, Islamisasi berarti pembongkaran kekuatan-kekuatan tradisional yang tidak memiliki kerangka kerja yang koheren dan logis.
Islamisasi, dalam konteks pengetahuan, mengacu pada upaya penggabungan konsep-konsep ilmiah ke dalam kehidupan umat Muslim. Proses ini dianggap sebagai langkah awal yang penting menuju pencapaian integrasi.
Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat bahwa penurunan pendidikan Islam dapat dikaitkan dengan tidak adanya adab, yang berfungsi sebagai dasar penting dari pendidikan Islam. Kurangnya kehadiran ini menimbulkan berbagai kompleksitas yang kemudian materialisasikan sebagai tantangan rumit yang saat ini kita hadapi. Dia mengklaim bahwa keberadaan kebingungan dan kesalahpahaman tentang pengetahuan mengakibatkan kekurangan integritas dalam masyarakat.
Kedua masalah ini berkontribusi pada munculnya pemimpin yang tidak hanya kekurangan kualifikasi yang diperlukan untuk kepemimpinan Islam, tetapi juga kekurangan karakter yang saleh, kemampuan intelektual, dan kemampuan spiritual yang dibutuhkan untuk peran tersebut. Mereka akan mempertahankan kondisi yang dinyatakan dalam paragraf awal dan mempengaruhi isu-isu sosial dengan menunjuk pemimpin baru yang memiliki sifat serupa, dengan demikian memperkuat kendali mereka atas berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, pada tingkatan individu, proses Islamisasi sangat berkaitan dengan re-identifikasi tradisi.
”Adab telah menjadi komponen penting dari pendidikan Islam sejak era Nabi Muhammad SAW”
Suatu hal yang sifatnya wajib bagi umat muslim untuk menjalankan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang berkaitan erat dengan prinsip-prinsip pengetahuan dan amal. Islamisasi menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas pada tingkatan epistemologis ialah mengacu pada proses membebaskan pikiran manusia dari keraguan, prasangka, dan argumen kosong untuk mencapai keyakinan dan kebenaran mengenai realitas spiritual, alasan, dan hal-hal material.
Dalam karyanya “Islam dan Sekularisme” Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi Pengetahuan kontemporer mencakup dua proses yang saling terkait. Aspek pertama adalah ekstraksi unsur-unsur dasar dan konsep yang mempengaruhi budaya dan peradaban Barat dari berbagai bidang ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya humaniora. Ia menyebut proses ini sebagai dewesternisasi pengetahuan.
Budaya dan peradaban Barat telah mengalami krisis yang berkepanjangan dalam ilmu pengetahuan, yang mengakibatkan munculnya absurditas. Oleh karena itu, al-Attas mengungkapkan kekhawatiran yang signifikan tentang infiltrasi ide-ide filsafat Barat ke lingkaran intelektual Muslim yang berpendidikan, yang telah mengakibatkan fenomena yang merugikan dan berbahaya yang ia sebut sebagai “de-Islamisasi pola pikir Islam.” Al-Attas menekankan bahwa pengetahuan ilmiah yang dihasilkan oleh dunia Barat tidak dapat diterapkan secara universal, tetapi lebih cenderung berorientasi pada budaya dan nilai-nilai Barat, dengan fokus khusus pada perspektif Eropa.
Oleh karena itu, tidak tepat untuk menggunakannya secara universal, terutama dalam masyarakat Islam yang mempertahankan nilai-nilai dan keyakinan yang berbeda dari peradaban Barat. Ilmu pengetahuan dapat berfungsi sebagai alat yang bernuansa dan tajam untuk menyebarkan keyakinan dan perspektif budaya. Ilmu pengetahuan bersifat bias. Pada titik ini, jiwanya memahami makna sepotong pengetahuan, terutama ketika seseorang dapat secara akurat menempatkan atau menghubungkan hal tersebut dengan komponen fundamental dari pandangan dunia mereka. Oleh karena itu, pengetahuan tinggal di dalam fikiran (otak), sedangkan segala sesuatu di luar otak hanya berfungsi sebagai subjek pengetahuan.
Mengembalikan Tujuan Kader dalam Ber-PMII
Atas keresahan yang dialami oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang secara gamblang menjabarkan beberapa kekeliruan dalam memaknai islamisasi pengetahuan dan menempatkan ilmu pengetahuan pada porsinya. Dimana wacana tersebut sudah dijabarkan secara rigit dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Sekularisme”, namun masih perlu dikaji lebih dalam oleh umat muslim pada umumnya dan khususnya para warga PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) yang menurut penulis selalu bergumul dalam wacana keislaman dan keindonesiaan.
Tidak lain tidak bukan, harapan penulis ialah para kader PMII di seluruh Indonesia mampu dan gagah berani dalam menjawab wacana-wacana yang selalu lahir setiap waktunya. Tidak sepatutnya jika warga PMII justru kaget bahkan gagap saat menghadapi wacana-wacana yang ada. Tentu sangat disayangkan jika kader PMII hanya terlihat gagah ketika melaksanakan demo semata, namun melupakan jati dirinya bahwa salah satu tanggungjawab dan tugasnya ialah belajar. Bukankah para kader PMII sudah mafhum bahwa tujuan mereka melibatkan diri di PMII ialah belajar?
Ini tentu sejalan dengan tujuan PMII itu sendiri yaitu;
“Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”
Diskursus diatas hanyalah secuil wacana yang lahir atas tantangan zaman yang ada dan tentu perlu didiskusikan secara mendalam oleh para kader PMII. Jangan sampai para kader PMII justru terlalu sibuk dan terjerumus dalam dinamika politis yang ada didalam tubuh PMII itu sendiri lalu lupa tentang banyaknya wacana yang juga harus diulik oleh kader PMII itu sendiri. [Ahmad Khoirul Umam - Anggota Lembaga Riset dan Penelitian PC PMII KOTA SEMARANG]
COMMENTS